Mengapa Kuharus Memanggilmu Nyonya

May 17, 2023 - 02:01
May 17, 2023 - 01:59
 0
Mengapa Kuharus Memanggilmu Nyonya
Foto ilustrasi oleh jcomp di Freepik

Saskia sudah cukup lama tinggal dan diasuh oleh Mak Anah. Hingga kini usia Saskia sudah mendekati dua belas tahun. Selama tinggal bersama Mak Anah, neneknya, Saskia tak mendapatkan haknya bersekolah. Terakhir, ia harus terpaksa keluar dari sebuah sekolah dasar meski baru masuk di kelas satu. Saskia adalah korban keegoisan ibunya, Mayang. Kehadiran Saskia saat dilahirkan memang tidak pada umumnya seorang bayi yang didambakan kedua orangtuanya. Berawal dari ketidakhati-hatian Mayang saat bergaul di masa muda.

Kini Saskia sudah seharusnya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Namun dengan keterbatasan pengetahuan Nek Anah yang juga tidak pernah mengenyam pendidikan semasa kecilnya membuat nenek yang berusia lebih dari 70 tahun itu tak dapat mengurus pendidikan cucunya. Di samping itu juga karena Nek Anah tidak memiliki cukup uang untuk pendidikan cucunya. Mengenai Mayang, ibu kandung Saskia sama sekali tak menghiraukan kepentingan anaknya. Makan sehari-hari dan keperluan lainnya hanya dipenuhi dengan usaha Nek Anah berjualan gorengan dengan berkeliling.

“Mayang, kenapa kamu jadi begini? Kenapa kamu tega melupakan anak kandungmu sendiri? Ibu tahu kamu tidak mengharapkan kehadiran Saskia. Tapi…tidak seharusnya kamu memperlakukan anak kandungmu sendiri hingga seperti sekarang ini.” Keluh Nek Anah dalam hati sembari mendampingi Saskia tidur. Hingga tak terasa air mata keluar membasahi pipinya yang sudah tampak berkeriput.

“Nek, Nenek belum tidur? Loh, Nenek kenapa menangis? Ini sudah malam, Nek.” Tiba-tiba Saskia terbangun dan bertanya.

“Ah, nggak apa-apa. Nenek cuma teringat dengan ibu kamu. Sudah kamu tidur lagi. Nanti Nenek juga tidur.” Elak Nek Anah sambil mengusap pipinya yang basah.

Saskia kemudian tidur kembali sambil berbalik memeluk guling yang sudah terlihat lepek. Sebetulnya Saskia tidak tidur. Ia membalikkan tubuhnya dengan mata terjaga dan sesekali matanya berkedip. Tak terasa air mata mulai menetes membasahi pipi dan guling yang dipeluknya. Saskia pun jadi kepikiran tentang ibunya. Hingga sebesar sekarang Saskia belum pernah mengetahui seperti apa wajah ibu kandungnya. Saskia sempat berpikir kalau ibunya tidak mau mengakui dirinya sebagai anak kandung. Informasi tentang ibu kandungnya dari nenek cuma sebatas bahwa ibunya sudah lama pergi bersama keluarganya yang baru.

“keer, keer.” Suara dengkur Nek Anah terdengar mengiringi tidurnya.

“Kasihan Nenek, sejak tadi pagi sampai siang keliling berjualan. Pasti Nenek kecapean.” Gumam Saskia sambil berbalik dan memandangi Neneknya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30. Kedua insan manusia yang sedang dirundung kesedihan itu pun kembali tertidur lelap hingga tak terasa waktu pagi membangunkannya.

**

              “Sas, bangun. Ayo kita salat subuh dulu. Nanti kesiangan.” Ucap Nek Anah pelan membangunkan cucunya.

              “Iya, Nek. Saskia bangun.” Jawab Saskia sambil menggeliat dan menggosok-gosok mata dengan tangannya.

              Diusianya yang sudah lanjut, Nek Anah selalu mengisi waktu setelah subuh dengan mengolah dan menyiapkan gorengan untuk dijualnya berkeliling kampung. Setiap hari Saskia menemani Nek anah dengan membawakan jinjingan berisi kertas pembungkus. Mereka berdua menyambung hidup dengan menjual gorengan setiap hari.

              Saat itu waktu sudah menjelang waktu zuhur. Terik matahari cukup panas mengiringi langkah mereka. Air minum yang mereka bawa isinya tinggal seperempat botol. Keduanya memutuskan untuk beristirahat dan duduk di sebuah saung yang sepertinya tempat warga meronda. Angin yang keluar dari kipas kain yang diselendangkan Nek Anah cukup menyejukkan tubuhnya. Sesekali kipasan kain Nek Anah diarahkan ke Saskia. Keduanya terlihat lelah sekali.

              “Nek, aku mau tanya tentang ibu. Boleh kan, Nek? Tiba-tiba Saskia bertanya dengan nada seperti ragu.”

              “Apa Ndu? Kamu mau tanya apa tadi?” tanya balik Nek Anah seperti mencoba mengalihkan percakapan.

              “Itu, Nek. Aku mau tahu tentang ibu aku.” Ucap Saskia mengulang pertanyaannya.

              Nek Anah terlihat menghela napas. Sesekali Nek Anah mengatur napasnya untuk memulai pembicaraan,  menjawab pertanyaan cucunya. Nek Anah sebetulnya tidak sanggup menceritakan semua yang telah terjadi antara Saskia dengan ibu kandungnya. Hal itu karena pasti akan menyakitkan cucunya. Bahkan mungkin akan membuat Saskia membenci ibunya. Memang cukup menyakitkan peristiwa yang terjadi 12 tahun yang lalu. Karena kecerobohan Mayang dalam bergaul, Mayang harus menerima hasil perbuatannya sendiri sebagai aib keluarga. Pergaulan bebasnya dengan Riko, menyebabkan Mayang hamil di luar pernikahan. Selama Sembilan bulan hingga kelahiran anak yang dikandungnya, semua dirahasiakan oleh keluarga. Riko tidak mau bertanggung jawab dengan perbuatannya. Riko tidak mau mengakui jika dia adalah ayah kandung dari anak yang dikandung Mayang. Tentu saja hal itu membuat Mayang sakit hati dan terus mengurung diri di kamarnya. Hingga pada suatu hari bayi yang dikandung Mayang pun terlahir secara normal. Sesaat setelah Mayang melahirkan, Mayang tak mau melihat bayi yang dilahirkannya. Ia merasa sakit hati dan dendam kepada Riko. Fatalnya dendam dan sakit hati itu dilampiaskan kepada anaknya sendiri. Seminggu setelah melahirkan, Mayang memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Ia tak pernah kembali sampai lupa kalau anaknya sudah berusia 12 tahun. Kepada Ibunya, Nenek Anah, Mayang tetap mengingatnya tetapi tidak kepada Saskia, anak kandungnya. Bahkan sebelum kepergiannya ke Jakarta, Mayang sempat berpesan agar Nek Anah tidak mencarinya dan diminta untuk menyampaikan pesan kepada anaknya saat besar kelak bahwa ibu kandungnya telah menginggal saat melahirkan. Nek Anah saat itu sangat sedih dan menangis karena perilaku anaknya. Sejak keberangkatan Mayang ke Jakarta itulah Saskia dirawat dan bertumbuh besar dalam perawatan Neneknya.

              “Sas, Nenek sebetulnya bingung dengan rahasia besar ini. Nenek sepertinya tak sanggup lagi menyimpan rahasia ini sampai kamu besar nanti. Nenek tidak tahu sampai kapan umur Nenek akan bertahan hidup. Tapi sekarang Nenek pasrah. Nenek harus menceritakan ini kepadamu. Nenek harap kamu dapat mengerti dan tidak menjadi benci pada ibumu.” Cerita Nek Anah sambil sesekali menyeka hidungnya menahan isak kesedihan.

              “Membenci, Nek? Maksud Nenek bagaimana? Saskia jadi bingung dengan cerita Nenek.” Sela Saskia seolah penasaran.

              “Sas, maafin Nenek ya. Nenek mau berterus terang tentang ibumu. Sebetulnya ibu kandungmu masih hidup. Mayang, anak Nenek, ibumu, meninggalkanmu seminggu sejak kamu dilahirkan. Ibumu tidak mau menerima kelahiranmu karena beliau sangat membenci ayahmu. Ayahmu yang membuat ibu kandungmu membenci kamu karena meninggalkannya saat kamu dalam kandungan.”

              Mendengar kisah Nenek tentang ibu kandungnya, air mata Saskia tak kuasa dibendung. Ada rasa yang berkecamuk antara senang mendengar ibu kandungnya masih ada, marah dan benci dengan sikap ibunya yang tak mau menerima dirinya dan perasaan lain yang tak menentu.

              “Nek, terus di mana ibu sekarang? Aku mau temuin ibu, Nek. Ayo Nek, antarkan aku ke sana!” ucap Saskia memaksa.

              Nek Anah semakin terharu dengan keinginan Saskia yang ingin menemui ibunya. Nek Anah ingat betul pesan Mayang, bahwa jika kelak akan menemuinya dan membawa anak yang telah dilahirkannya jangan sampai anak itu memanggil dirinya dengan sebutan ibu atau mama. Dengan sangat berat hati pesan itu disampaikan kepada Saskia.

              “Sas,  kamu serius ingin bertemu dengan ibumu? Tapi kamu harus berjanji sama Nenek.” Nek anah berusaha memberi pengertian pada cucunya.

              “Janji apa, Nek? Aku cuma ingin tahu wajah ibu, Nek.” Selanya lagi tak sabar

              “Sas, dengerin Nenek. Sebelum ibumu dulu meninggalkanmu, beliau berpesan agar kalau kamu mau menemuinya nanti tidak memanggilnya dengan sebutan ibu atau mamah. Kamu bisa janji sama Nenek? Nenek tidak mau mengantarkanmu ke sana kalau kamu tidak mau berjanji dulu.” Kata Nek Anak dengan berat hati.

              “Kenapa harus seperti itu, Nek. Segitu bencinya kah ibu sama Saskia, Nek. Sebetulnya apa salah Saskia?” tanya Saskia semakin tidak mengerti.

              “Sas, tadi kamu bilang, kalau kamu hanya ingin tahu wajah ibumu saja. Kamu bisa nggak pegang janji kamu untuk tidak melakukan apa yang Nenek bilang tadi?” tanya Nek Anah menegaskan.

              Sejenak Saskia merenung. Ia tak habis pikir dengan permintaan ibu kandungnya untuk tidak memanggil dengan sebutan ibu. Tapi rasa penasaran yang menggelayutinya, membuat Saskia akhirnya menuruti pesan Neneknya.

              “Iya, Nek. Aku janji. Aku tidak akan memanggilnya ibu. Tapi Nenek janji ya, kita ke rumah ibu sekarang.” Saskia memaksa.

              Tak terasa waktu 2 jam lebih mereka berkeluh kesah di sebuah saung sambil beristirahat setelah berkeliling menjajakan gorengannya. Saung itulah yang menjadi saksi bisu sejarah tentang keberadaan orangtua kandung Saskia. Sesungguhnya berat buat Saskia menerima kenyataan hidup yang dialaminya. Tetapi penantian panjang mencari kepastian berita tentang ibu kandungnya terjawab sudah. Meski belum bertemu, tetapi buat Saskia kepastian berita tentang keberadaan ibu kandungnya  saja sudah cukup melegakan. Akhirnya Nek Anah dan Saskia pun melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah.             

**

              Suasana di sebuah terminas Bus Rambutan Jakarta cukup panas. Asap knalpot kendaraan bus dan angkot memenuhi terminal tersebut. Sesekali Nenek terbatuk-batuk sambil menutup wajahnya dengan kerudungnya. Keduanya baru saja turun dari sebuah bus yang mengantarkannya. Tinggal satu angkot lagi yang akan mengantar mereka ke sebuah kampung di Jakarta Timur itu menuju rumah Mayang.

              “Nek, itu mobil menuju Ciracas.” Teriak Saskia sambil menunjuk ke arah angkot berwarna merah.

              Keduanya lalu melanjutkan perjalanan menuju rumah Mayang, ibu kandung Saskia sekaligus anak dari Nenek Anah. Selama diperjalan di dalam angkot, Nek Anah tak henti-hentinya melihat-lihat deretan rumah yang akan ditujunya. Di usianya yang sudah senja Nek Anah harus mengikuti kemauan cucunya dengan segala keterbatasan gerak dan penglihatan, juga ingatan.

              “Stop, Pir. Berhenti.” Teriak Nek Anah setelah mengetahui rumah yang ditujunya ditemukan. ”Ayo, Nak kita turun di sini!” ajak Nek Anah memegangi tangan cucunya.

              Keduanya turun dan sejenak berdiri memandangi sebuah rumah yang cukup mewah di seberang jalan. Nek Anah sesekali memegangi lutut dan mengurutinya. Kebetulan tempat mereka turun tepat di sebuah halte yang fasilitas kursinya masih lengkap. Saskia mengajak dan memapah neneknya untuk  duduk sebentar di halte tersebut.

              “ Sas, kamu lihat rumah yang ada di seberang jalan itu? Itulah rumah ibumu. Semoga ibumu ada di rumah, jadi kita nggak sia-sia datang ke sini.” Jelas Nek Anah memberitahu Saskia.

              “Wah, besar sekali ya, Nek.  Seharusnya aku tinggal di sana ya, Nek.” Ucap Saskia polos.

              “Eh, awas ya, Sas! Ingat pesan Nenek tadi, kamu jangan memanggil ibumu dengan sebutan Ibu atau mamah. Kamu harus memanggilnya dengan panggilan ‘Nyonya’. Ingat, ‘Nyo…nya’.” Tegas Nek Anah. 

Saskia hanya diam dan tertunduk mendengar pesan Nek Anah. Sebetulnya Saskia bukannya tidak ingat dengan pesan itu, melainkan lebih kepada tidak menyangkanya atas perlakuan ibu yang seharusnya menyayangi dan memberinya perhatian.

              “Assalamu’alaikum, permisi.” Ucap Nek Anah sambil memegang pagar gerbang yang masih terkunci gembok.

Di dalam, di depan  rumah mewah itu ada seorang wanita paruh baya yang sedang menyiram bunga-bunga yang tertata sangat indah. Pekarangan rumah itu sangat luas. Di sebelah kiri saat melewati pagar rumah ada sebuah garasi yang cukup besar dan tertutup poldinggate yang terbuat dari kayu. Di sebelah kanan rumah itu di bagian depanya tersaji taman dengan berwarna-warni bunga dan ditambah ayunan tempat bersantai. Tak sampai lama Nek Anah dan Saskia menunggu di luar pagar, wanita paruh baya itu pun datang menghampiri.

“ Maaf, ibu dan adik ini mau ketemu siapa?” tanya Yanah, asisten rumah tangga bu Mayang.

“Ibu Mayangnya, ada? Saya saudara Bu Mayang dari Bogor. Tolong beritahu beliau, ya.” Jelas Nek Anah yang mulai merasa kesakitan kakinya karena terlalu lama menempuh perjalanan.

“Baik, Bu. Silakan masuk dan ikut saya. Nanti di depan sana ibu dan adik tunggu dulu, ya. Biar saya memberi tahu nyonya dulu” Jawab Yanah mengajak keduanya masuk ke dalam pekarangan.

Degup jantung sudah mulai dirasakan Saskia sejak melewati gerbang tadi. Kini tubuhnya mulai bergetar saat berada persis di depan pintu rumah yang besar dan tinggi. Sejak tadi matanya tak lepas memandangi seluruh bagian luar rumah yang mewah itu. Perasaannya mulai berkecamuk dan… pintu rumah itu terbuka.

“I…bu. Kenapa nggak kasih tahu dulu kalau mau ke sini? Ini…” ucap Bu Mayang terhenti.

“Iya….Boleh ibu masuk, Nak.  Ibu cape sekali.” Pinta Nek Anah mengalihkan isi percakapan.

“Bi, tolong ambilkan minum, dua.” Suruh Bu Mayang pada Yanah.

“ Anak ini? Siapa  namamu, nak?” tanya Bu Mayang seolah ragu dengan pertanyaannya.

“A…aku, Saskia, Nyonya. Aku cucunya Nenek.” Jawab Saskia berusaha menutupi ketidakpercayaannya.

Ada perasaan sesak di dalam dada Saskia. Antara ingin menangis dan berusaha tersenyum kerap kali memandang wajah seorang wanita yang ada di hadapannya. Begitu pun Mayang yang sejak pertama kali melihat Saskia di luar tadi sudah menduga jika itu adalah anaknya. Terlebih ucapan kata ‘Nyonya’ begitu jelas menyadarkan ingatannya akan ucapan yang pernah disampaikannya 12 tahun yang lalu sebelum ia meninggalkannya. Sebetulnya rasa benci Mayang terhadap anaknya sudah mulai berkurang. Terlebih setelah, Riko, ayah dari anak yang dikandungnya dulu, kini sudah meninggal dunia. Berita ini memang belum disampaikan kepada ibunya, Nek Anah.  Namun persoalannya kini berbeda. Mayang sudah menikah dan mempunyai seorang anak laki-laki, Andra namanya. Mayang terlanjur mengaku belum menikah dan belum punya anak ketika dilamar oleh suaminya, Pak Candra. Ada rahasia yang masih tersimpan rapat tentang Saskia di diri Bu Mayang terhadap suaminya. Sebetulnya Pak Candra adalah sosok yang baik. Berjiwa kebapakan. Jarang terlihat marah dan lebih cenderung penyabar. Kalau saja Mayang berterus terang sejak awal tentang dirinya, jujur mengatakan keadaan dirinya, Pak Candra pasti akan menerima Mayang apa adanya. Entah jika persoalannya baru diketahui sekarang. Semua masih tersimpan rapi dalam rahasia yang dipegang Mayang.

“ Mah, ada siapa? Kok nggak panggil Papa kalau ada tamu. Loh ini kan Ibu. Ibu sudah lama? Kenapa nggak kasih tahu kami kalau mau ke sini. Saya kan bisa jemput.” Sapa Pak Candra mencium tangan Nek Anah.

“Nggak apa-apa nak Candra. Ibu masih kuat kok untuk datang ke sini. Lagian ibu ke sini juga nggak akan lama. Cuma ingin main saja sambil mengajak Saskia yang ingin tahu suasana kota Jakarta. Iya kan Nduk?” jelas Nek Anah sekedarnya.

Saskia hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya. Ia merasa tak tahan lagi berada di rumah itu. Saat Bi Yanah datang membawakan air minum, tiba-tiba Nek Anah pingsan. Untung saja posisinya sedang duduk sehingga saat pingsan ia langsung tersandar di kursi sofa. Spontan Saskia berteriak kaget.

“Nek, kenapa, Nek? Bangun, Nek! Jangan tinggalin aku, Nek! Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Bangun, Nek!” teriak Saskia sambil menangis.

“Bu, Ibu. Ibu kenapa? Pah coba bantu bangunkan ibu.” Ucap Mayang panik.

Pak Candra mencoba memeriksa kondisi Nek Anah yang tampak memucat. Dipegangnya nadi Nek Anah, lalu diletakannya dua jari Pak Candra di leher bawahnya. Terlihat Pak Candra menggeleng-gelengkan kepalanya. Melihat reaksi Pak Candra setelah memeriksa kondisi Nek Anah. Spontan Mayang memeluk Nek Anah sambil menangis tersedu-sedu. Begitu pun Saskia. Ia menangis menjadi-jadi dan terus memanggil-manggil neneknya.

“Innalillahi Wainna Ilaihi Roji’un. Kamu yang sabar ya Mah. Kamu juga ya, Sas. Allah sudah menakdirkan nenekmu untuk kembali kepada-Nya. Kamu harus ikhlas menerima kenyataan ini. Kamu nggak usah takut. Nanti kamu tinggal saja bersama kami. Kamu bisa menemani Andra di rumah ini.” Ucap Pak Candra menenangkan Saskia.

Ada yang berbeda dengan raut wajah Mayang saat suaminya menjanjikan Saskia untuk tinggal bersamanya. Mayang merasa akan ada masalah besar dalam hidupnya kelak.

“Mah kamu kenapa? Ada yang salah dengan omongan papa? Sekarang sebaiknya kita urus dulu pemakaman ibu, ya.” Jelas Pak Candra .

Mayang tak menjawab apapun. Ia hanya terdiam dan berulangkali memandang Saskia dengan tatapan yang sepertinya kurang suka dengan keputusan suaminya. Di sela-sela kegundahan Mayang, tiba-tiba datang beberapa orang tetangga dan Pak RT. Mereka datang setelah mendapat berita dari Pak Candra lewat telepon beberapa waktu yang lalu. Di antara kedatangan para tetangganya, hadir pula Bu Rt dan seorang ustazah dan beberapa jamaahnya. Ibu-ibu tersebut selain bertakjiah juga dimintai tolong untuk mengurus jenazahnya sampai dengan ke pemakaman. Di lingkungan ke-RT-an tempat tinggal Pak Candra memang sudah terbiasa adanya kebersamaan baik pada saat ada kendurian maupun kedukaan, seperti tetangga yang sedang terkena musibah.

**

Ini hari ketujuh Nek Anah wafat. Tidak mudah buat Saskia membiasakan diri hidup tanpa kehadiran neneknya. Nenek sekaligus orangtua yang selama ini mengurus dan merawatnya. Saskia tidak dapat membayangkan jika dirinya hidup tanpa orangtua. Kesedihan ini membuat Saskia selalu menyendiri dan menangis.

“Sas, ini hari ketujuh nenekmu berpulang. Kamu tidak boleh berlama-lama bersedih. Ada banyak hal yang harus kamu kerjakan di rumah ini. Kamu nggak boleh santai tinggal di sini.” Tegur Mayang dengan suara agak keras.

“Tapi…Nyonya, aku masih sulit melupakan nenek. Buat aku nenek bukan hanya sekedar seorang nenek ,melainkan juga seperti ibu kandung. Sejak kecil nenek selalu menyayangiku dan kami berjuang bersama  memenuhi kebutuhan hidup.” Ucapnya sambil sesekali terisak sedih.

Ada perasaan yang berkecamuk dalam hati Saskia. Wanita yang ada dihadapannya kata nenek adalah ibu kandungnya. Tetapi Saskia tak punya cukup keberanian untuk menyampaikan apa yang diketahuinya dari nenek. Terlebih kini nek Anah sudah tak lagi bersamanya. Baginya sudah bisa tinggal di rumah ini saja sudah sesuatu yang membahagiakan.

“Nek, kenapa nenek tinggalin aku mendadak seperti ini? Aku bingung, Nek. Apakah aku harus sedih atau bahagia? Aku sangat sedih ditinggal sama nenek. Tapi aku jauh lebih sedih, Nek karena kebagiaan yang ada di depan mata tak bisa aku rasakan.” Ucap Saskia dalam hati sambil berlalu menuju dapur.

“Mah…Mah, kamu di mana? Tolong buatkan papa kopi! Tolong bawa ke ruang tengah sini, ya!” pinta Pak Candra sambil berjalan menuju ruang keluarga. “Oh, ya sekalian panggil Saskia, ada yang mau papa bicarakan.” Tambahnya.

Mendengar Pak Candra mau berbicara dengan Saskia, Mayang jadi memikirkan apa yang mau dibicarakan suaminya. Ada kekhawatiran yang tidak menentu merasuk dalam hati dan pikiran Mayang.

              “ Ada apa ya, papa mau bicara dengan Saskia. Aku semakin khawatir dan nggak tenang sejak Saskia tinggal di rumah ini. Aduh gimana ini? ” ucap Mayang dalam hati.

              “Mah, kamu kenapa? Mana Saskianya? Cepetan suruh ke sini!” tegur Pak Candra melihat istrinya berjalan sambil termenung.

              “Iya, Pa. Sebentar mama panggilkan Saskia dulu.” Jawab Mayang sedikit gugup.

**

“Nek, sampai kapan ibu akan merahasiakan semua ini? Sampai kapan aku bisa diterima ibu sebagai anak kandungnya? Aku harus bagaimana ini, nek?” keluh Saskia dengan derai air mata hingga membasahi bajunya.

Sejak tinggal bersama keluarga pak Candra, Saskia terlihat tidak nyaman. Selain karena ditinggal oleh neneknya, ia juga merasa tidak nyaman dengan sikap Mayang, ibu kandung yang tidak mau mengakui dirinya sebagai anak kandung. Sikap sinisnya dan jika bicara selalu menunjukkan rasa tidak suka, membuat Saskia sedih. Jika masih ada nek Anah, Saskia pasti menumpahkan kesedihan kepadanya. Rumah besar dengan fasilitas yang sangat mewah dan lengkap tak sedikit pun membuatnya bahagia. Saskia merasa lebih bahagia hidup di rumah yang sederhana bersama neneknya daripada berada di rumah seorang ibu yang sedikit pun tak menyayanginya.

“Sas…Sas, di mana kamu?” Suara Mayang sambil mencari-cari Saskia.

“Iya, Nyonya. Saya di sini.” Jawab Saskia sambil bergegas menghampiri dan menyeka air matanya dengan kerah bajunya.

“Kamu dari mana, sih? Tuan panggil kamu di ruang keluarga.” Ucap Mayang sedikit ketus.

Mendengar Pak Candra memanggil namanya, Saskia agak terkejut. Ia menduga-duga kenapa dirinya dipanggil. Perasaan Saskia semakin berkecamuk. Sempat terlintas dalam pikiran Saskia apakah dirinya akan diusir dari rumah itu.

“Tuan. Maafkan saya karena membuat Tuan harus menunggu.” Ucap Saskia pelan.

“Sini duduk. Kamu nggak usah panggil saya dengan panggilan Tuan. Kamu itu bukan siapa-siapa kok di sini. Kamu harus menganggap kami sebagai pengganti orangtuamu, ya. Panggil saja saya dan istri saya dengan Papa dan Mama.” Terang Pak Candra dengan suara lembut.

Mendengar ucapan suaminya, Mayang semakin terlihat gelisah. Ia merasa tak mungkin Saskia memanggilnya mama. Ia khawatir suaminya kelak akan mengetahui siapa sebenarnya Saskia. Mayang selalu membayangkan jika rahasia tentang dirinya diketahui suaminya, maka sikap suaminya akan berubah. Suaminya akan marah dan parahnya mungkin bisa menceraikannya. Itu sebabnya, Mayang merasa kehadiran Saskia dapat mengancam keluarganya.

“Tapi…Tuan, eh…Pa, saya nggak apa-apa, kok. Biar saja seperti ini. Saya nyaman kok dengan panggilan itu.” Ucap Saskia yang sebetulnya bertentangan dengan hati nurani dirinya.

“Sas, kamu dengarkan, ya. Papa mau bicara sama kamu. Jadi begini. Papa ingin kamu sekolah. Nanti kamu harus ikut paket A dulu, lalu nanti daftar ke SMP favorit di daerah sini. Papa ingin kamu maju. Kamu ingin, kan nenek bahagia. Nenekmu akan bahagia kalau kamu berhasil meraih cita-cita.” Jelas Pak Candra.

“Tapi, Tu…eh Pa. Saya lebih baik pulang saja. Rumah saya di sana.” Ucap Saskia sambil melirik ragu ke arah Mayang.

“Ma, kamu gimana? Setuju kan dengan ide Papa?” tanya Pak Candra yang merasa ada sesuatu di hati istrinya.

Mendengar pertanyaan suaminya, Mayang tak langsung menjawabnya. Lidahnya menjadi kelu. Mayang tak dapat menyembunyikan ketakutannya. Tentu saja sikap tersebut juga dirasakan oleh Saskia. Saskia semakin yakin jika Mayang, ibu kandungnya, tidak menginginkan dirinya berada di rumah itu.

“Maaf Tuan.” Tiba-tiba Saskia meninggalkan Pak Candra dan Bu Mayang dari ruang keluarga menuju kamarnya.

“Loh, ini ada apa? Ma, kamu. Saskia kenapa, Ma?” tanya Pak Candra kebingungan melihat sikap Saskia yang tiba-tiba meninggalkannya.

Setelah beberapa saat Saskia masuk ke kamarnya, akhirnya keluar dengan membawa sebuah tas yang ia bawa saat pertama kali datang bersama neneknya ke rumah itu. Terlihat wajah Saskia begitu sembap, matanya bengkak dan masih basah dengan air mata.

“Tuan, Nyonya. Saya mohon pamit. Tempat saya bukan di sini. Kebahagiaan saya tidak di sini tetapi di rumah nenek. Saya minta maaf sudah mengganggu Tuan dan Nyonya.” Ucap Saskia sambil memegang tali tas dengan kedua tangannya.

“Nggak, nggak. Ini bikin saya bingung. Kamu kenapa nggak cegah Saskia, Ma?” Tanya Pak Candra seperti tak percaya dengan apa yang terjadi.

Memang ada yang aneh dengan sikap Mayang. Ketidaksetujuan Mayang terhadap ide suaminya terlalu ditampakkan. Sehingga menjadi kecurigaan suaminya. Menyaksikan kondisi itu, Saskia langsung bergegas pergi keluar rumah itu. Di luar rumah yang berhadapan dengan jalan raya, Saskia tak kesulitan meninggalkan rumah lebih jauh lagi. Sebuah angkot yang kebetulan lewat dihentikan Saskia. Ia pergi meninggalkan rumah itu dengan menaiki angkot menuju terminal.

“Ma, kamu kenapa? Kenapa kamu malah menangis? Papa jadi tambah bingung kalau begini? Kita harus susul Saskia, Ma. Papa nggak mau terjadi apa-apa dengan Saskia. Ini Jakarta, Ma. Sangat berbahaya gadis sekecil itu berada di Jakarta tanpa didampingi orang dewasa.” Kata Pak Candra sedikit mulai emosi.

“Pa. Mama mau cerita sama papa.” Ucap Mayang memegang tangan suaminya.

“Nanti saja ceritanya. Sekarang yang terpenting susul Saskia. Papa khawatir dengan kondisinya. Kalau kamu mau ikut, ayo. Kalau nggak terserah.” Sela Pak Candra agak keras.

Melihat suaminya marah, Mayang mengurungkan ceritanya dan lebih ikut suaminya menyusul Saskia. Selama di perjalanan, Mayang terlihat tak henti-hentinya menangis tanpa berkata-kata apapun. Namun begitu hatinya merasakan penyesalan luar biasa karena telah menyia-nyiakan Saskia, anak kandungnya sendiri. Kini ada kekhawatiran tersendiri yang begitu besar akan keselamatan Saskia.

“Pa, maafkan mama. Mama sudah nggak jujur sama papa. Selama ini mama menyimpan rahasia tentang Saskia. Mama takut papa berubah benci sama mama.” Ucap Mayang sambil sesekali terisak penuh penyesalan.

“Maksud mama? Papa belum paham.” Tanggap Pak Candra sambil matanya fokus menyetir.

“ Papa jangan marah, ya. Mama mau terus terang sekarang. Sebetulnya Saskia adalah anak kandung mama. Sebelum mama menikah dengan papa. Mamah mempunyai anak, Saskia itu. Sejak lahir mama tinggalkan Saskia tinggal bersama neneknya.” Kisah Mayang tak berani menatap mata suaminya.

“Apa? Saskia anak mama. Astagfirullah. Ma, kenapa mama nggak jujur sejak awal. Papa itu terima mama apa adanya. Kamu tega sekali sama Saskia. Sudah sekarang yang terpenting kita harus susul Saskia. Semoga mobil bus yang bawa anakmu masih belum berangkat.“ ucap Pak Candra dengan hati yang penuh kecewa.

Mobil putih dengan stiker mewah di samping bodinya memasuki terminal Kampung Rambutan. Pak Candra segera memarkirkan mobilnya dan bergegas turun untuk mencari bus yang menuju terminal Bogor. Suara bising mesin mobil bus yang menunggu pemberangkatan begitu keras. Belum lagi asap yang dikeluarkan lewat knalpotnya membuat sesak para calon penumpang. Teriakan para penjual asongan juga menambah ramainya suasana terminal. Sulit membedakan antara orang yang merupakan asli penumpang dengan penumpang yang hanya berpura-pura yang sebetulnya adalah pencopet. Mereka semua berbaur. Hanya penumpang yang berhati-hati dan selalu waspada yang akan terhindah dari musibah kecopetan.

“ Mas, mobil jurusan Bogor sebelah mana, ya?” tanya Pak Candra pada salah seorang berseragam petugas terminal.

Setelah mendapatkan arahan dari petugas terminal, Pak Candra dan Mayang sedikit berlari menghampiri sebuah mobil bus yang di depan atasnya tertulis Kampung Rambutan – Bogor. Keduanya mulai menaiki mobil bus tersebut dan mencari-cari sosok anak perempuan di setiap kursi. Mulai dari depan Mayang dan Pak Candra sibuk mengarahkan matanya menyusuri kursi demi kursi. Hingga pada satu tempat duduk bagian belakang terlihat ada seorang anak kecil yang duduk bersandar di dekat kaca.

“Pa, itu Saskia. Nak, kamu jangan pulang, ya. Kamu ikut mama, ya. Mama minta maaf. Mama sekarang sadar dan menyesal telah meninggalkan dan mengabaikanmu. Sekali lagi mama minta maaf.” Ucap Mayang sambil memeluk Saskia.

Melihat nyonya Mayang dan tuan Candra tiba-tiba ada di dekatnya, Saskia sempat kebingungan. Saskia merasa tak percaya dengan apa yang dialaminya. Sebutan ibu yang keluar dari mulut seorang wanita yang sempat membuatnya merasa asing terdengar seperti mimpi. Saskia memang sempat merasa marah dan benci pada Mayang karena sikapnya selama ini, tetapi Saskia selalu diingatkan oleh neneknya agar tetap bersikap baik pada ibunya. Menurut neneknya ibu tetaplah ibu. Orang yang telah melahirkannya berjuang antara hidup dan mati. Pesan itulah yang kemudian tak lagi membuat Saskia harus menyimpan rasa marah dan benci kepada ibu kandungnya.

“em…Mama.” Ucap Saskia lirih dalam pelukan ibunya. “Mimpikah ini? Nek, seandainya nenek lihat ini. Aku bahagia sekali, nek.  Semoga nenek juga bahagia melihat aku.” Desahnya dengan linangan air mata yang terus mengalir hingga membasahi pundak ibunya.

“Maafkan Ibu ya, nak. Ibu janji akan merawat dan menyayangimu sampai kapanpun.” Ucap bu Mayang sambil mengelus kepala Saskia.

Keduanya seolah tak ingin melepaskan pelukan. Terlebih Saskia yang tak pernah merasakan kehangatan pelukan seorang ibu. Melihat itu Pak Candra hanya tertegun diam. Ia hanya tersenyum bahagia melihat pancaran kebahagiaan Saskia.

“Sas, kamu ikut kami, ya. Kamu adalah bagian dari keluarga kami. Kamu adalah kakak dari  adikmu, Andra. Andra pasti senang kalau dirinya punya kakak secantik dan sebaik kamu. Yuk kita pulang. Kalau nanti kamu mau ke Bogor, papa dan mama akan mengantarmu, kita semua ke sana.” Ucap Pak Candra penuh kasih sayang.

Saskia pun menuruti ajakan Mayang dan Pak Candra. Ketiganya kemudian turun dari bus tersebut menuju mobil yang akan mengantarkannya ke rumah. Di perjalanan pulang tampak sorot mata Saskia masih terlihat belum bisa menerima kenyataan yang membahagiakannya. Ini seperti sebuah mimpi. Kini Saskia tak lagi memanggil ibu kandungnya dengan sebutan nyonya tetapi sebuah sebutan ‘mama’ yang sangat didambakannya sejak dulu layaknya seorang anak yang mempunyai ibu kandung.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

aryhendari Seorang pendidik yang bertugas di SMPN 1 Parungpanjang, Bogor Jawa Barat. Terakhir menyelesaikan pendidikan pada pascasarjana UHAMKA Tahun 2015