Kisah Dariku, Seorang Guru Kebetulan
Cerpen ini hanyalah kisah fiksi yang terinspirasi dari semua hal tentang guru, semoga bisa bermanfaat dan memberikan semangat untuk guru-guru Indonesia.
“Pak, Bu skripsiku sudah selesai. Setelah ini biarkan aku melakukan semua yang aku inginkan”
Kalimat itu tertulis di bagian halaman depan skripsiku, karena sebentar lagi aku akan menjadi alumni dari jebolan bidang pendidikan. Sayangnya kalimat tersebut tidak pernah sampai ke tujuan, dan tak ada seorangpun dari keluargaku yang mau meliriknya. Hal tersebut sudah tidak asing lagi bagiku, lagi pula separuh semangatku telah hilang dari 4 tahun lalu. Semua berawal dari memasuki perguruan tinggi jurusan pendidikan atas dasar kemauan orang tua dan keterpaksaan.
Seperti layaknya kutub magnet yang berlawanan aku manjalani suatu hal yang bertentangan lagi dengan apa yang diinginkan. Aku yang sudah melamar kesana kemari supaya bisa bekerja sebagai pegawai di perusahaan tak kunjung lolos diterima, maka dengan terpaksa memilih profesi guru karena kebetulan ada lowongan dan karena keinginan orang tua. Inilah kisahku menjadi seorang guru dengan alasan kebetulan, bukan karena ingin menjadi seorang guru betulan.
Aku memasuki gerbang hijau disambut dengan bangunan tinggi 3 tingkat yang saling berpasangan, terhitung 2 menit kaki ini akan masuk ke dalam bangunan hijau itu, bangunan yang sedari dulu sering kulewati dan tak pernah terlintas dipikiranku akan menginjakkan kaki ke dalamnya, bahkan sampai menetap menjadi tempat awal karir dengan profesi sebagai guru.
“Ibu bisa langsung mengajar anak-anak besok, karena kebetulan guru mata pelajaran matematika sudah pindah ke sekolah lain seminggu yang lalu, jadi tidak perlu menunggu tahun ajaran baru untuk mulai mengajar,” ucap bapak bagian kurikulum setelah aku selesai memberikan surat lamaran kepada kepala sekolah, aku menyetujuinya dan menerima selembar kertas jadwal pelajaran.
Dipanggil dengan kata “Ibu” oleh seorang yang umurnya lebih tua dariku membuatku merasa canggung, mungkin karena belum terbiasa dengan sebutan itu. Tiba-tiba aku teringat seorang pedagang siomay yang selalu mangkal di depan kampus, saat itu ia mengatakan bahwa ia tidak mau jadi guru karena dipanggil bapak atau ibu walaupun usianya masih muda, dan hari ini aku mengalaminya.
Untuk persiapan hari pertama mengajar, aku mempelajari materi pembelajaran dan bagaimana cara atau metode pembelajaran yang akan disampaikan bisa membuat siswa merasakan kenyamanan ketika belajar. Semua itu kulakukan agar mereka jangan sampai merasakan kesulitan seperti apa yang sudah kujalani selama ini. Aku ingin setiap siswa bisa mempunyai motivasi untuk belajar sendiri atas kemauannya, mengejar cita-citanya sendiri, bisa membuat pilihan yang terbaik untuk dirinya sendiri, bisa terus berlatih meningkatkan kemampuan atau kelebihannya masing-masing tanpa merasa terpuruk dengan segala kekurangannya juga dapat mensyukuri kehidupannya sendiri.
Tanpa disadari ternyata diri sendiripun sampai saat ini belum bisa menerapkan hal itu, dan aku mulai menyesali keputusan ini, suara hati yang terdalam ikut berunjuk rasa dan mengatakan “Apa gunanya menjadi seorang guru, jika diri sendiri pun masih tak bisa menentukan untuk mengembangkan kemampuan diri”. Tapi diri ini menjawab dengan pasrah bahwa aku harus tetap menjalaninya dengan alasan tak ada pekerjaan lain dan tak ada yang bisa kulakukan.
Ketika memasuki ruangan ukuran 9 x 8 meter, keramaian membersamai langkahku sampai duduk di kursi paling depan, tetapi gerombolan siswa barisan belakang tak peduli. Lihatlah apa yang terjadi hari ini, aku yang sudah mempersiapkan pembelajaran dengan susunan rapi nyatanya berbanding terbalik dengan apa yang ku alami. Aku masih diam berdiri di depan dengan tatapan tajam, ingin melihat sejauh mana mereka tidak mempedulikan guru di depannya. Ternyata hampir 5 menit mereka masih saja tidak peduli, maka dengan perasaan begitu kesal aku berbicara dengan lantang agar semua siswa diharapkan untuk diam karena pembelajaran akan segera dimulai. Di awal pertemuan pertama ini aku menanyakan cita-cita mereka satu persatu, hal itu kulakukan karena aku ingin mereka mempunyai tujuan belajar yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri dari banyaknya tujuan belajar dalam bidang pendidikan.
Saat memasuki kelas lain ternyata situasinya tak jauh berbeda, bahkan lebih sulit dari sebelumnya. Di saat aku sedang membahas materi pembelajaran, terdapat beberapa orang siswa bagian belakang sedang menikmati makanan dan minuman secara diam-diam, ingin rasanya aku lempar spidol atau penghapus ke arah mereka, namun aku mencoba menahan diri untuk tidak melakukannya, aku diam sejenak untuk mengatur napas sambil terus memandang ke arah mereka yang sedang makan dan minum es.
"Ketika sedang belajar bersama di dalam kelas apakah boleh makan dan minum?" tanyaku pada semua siswa.
"Ngga boleh bu," mereka menjawab serentak. Siswa yang masih mengunyah pun berhenti, yang sedang minum es hampir tersedak, Yang melumat permen langsung ditelan. Ada juga yang sibuk menghilangkan plastik dalam genggaman ke kolong meja, tempat yang menurut mereka paling aman.
"Karena sudah tahu peraturannya, ibu minta tolong kepada kalian yang sibuk makan dan minum es dari tadi, untuk segera membuangnya ke tempat sampah!" suaraku rendah namun setiap katanya penuh penegasan. Mataku tertuju pada siswa tertentu. Mereka yang merasa hanya terdiam, sedangkan beberapa siswa yang duduk di barisan depan menengok kanan kiri menelusuri siapa saja teman-temannya yang telah berani melanggar.
Usai sudah mereka membuang sisa makanan dan minumannya ke tempat sampah, aku ingatkan kembali mereka untuk tidak makan dan minum saat pembelajaran berlangsung, sebagai bentuk dari sikap saling menghargai sesama, bukan hanya pada guru tetapi juga pada sesama teman. Hari ini mereka mendengarkanku dengan baik, untuk kedepannya aku tidak tahu, mungkinkah mereka bisa memperbaiki diri atau mungkin semakin menjadi. Ku harap mereka bisa memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi. Setelah jam pelajaran berakhir, akupun melanjutkan langkahku menuju kelas lain.
Satu kelas ini cukup bisa diatur, mereka duduk dengan rapi tanpa kegaduhan dan terlihat cukup tenang, sehingga membuatku cukup merasa lega. Di tengah pembelajaran ketika aku sedang menulis di papan tulis spidolku habis. Maka aku meminta tolong kepada 2 orang siswa laki-laki untuk mengisi tinta ke kantor. Hingga beberapa saat rasanya sudah terlalu lama menunggu, namun mereka tak kunjung datang ke kelas, maka aku langsung memeriksanya ke kantin, benar dugaanku ternyata mereka menggunakan kesempatan itu untuk jajan ke kantin.
Sungguh sangat melatih kesabaran, di lain waktu aku akan mengisi tinta spidol sendiri. Bel istirahat berbunyi, sekarang waktu yang tepat untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah mereka perbuat, maka aku tidak mengizinkan mereka untuk istirahat melainkan tetap di kelas sambil menulis di buku catatan mengenai kesalahan yang telah dilakukan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Pengalaman pertama menjadi seorang guru membukakan tirai kenyataan bahwa ekspektasi memang sering kali tak sesuai dengan realita, terutama bagiku yang kebetulan menjadi guru menjalaninya saja sudah sangat melelahkan.
Setelah pulang sekolah, rasanya badanku ingin segera jatuh ke kasur, karena telah seharian mengeluarkan suara lebih dari biasanya. Berjalan kesana kemari menyusuri lorong kelas, naik turun tangga, ditambah dengan karakter siswa setiap kelas yang berbeda-beda membuatku kesulitan dalam mengkondisikan mereka ketika pembelajaran. Segudang teori tentang tugas guru dan metode pembelajaran yang telah ku pelajari selama masa kuliah nyatanya tak mudah dilakukan. Di saat itulah aku merasa gagal dan tak pantas menjadi seorang guru.
Meski tak mudah menjalani profesi sebagai guru, aku tetap menjalaninya. Sampai waktu kurang lebih dua minggu, semua kegiatan yang membuatku rumit ini terhenti seketika, karena peristiwa badai pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Awalnya aku merasa lega karena terlepas dari semua hal yang membebaniku setiap hari, namun ternyata dugaanku salah, masa awal pandemi covid ini menjadi hal yang lebih rumit bahkan sangat sulit dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka. Di masa inilah tugas guru yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa” sedang di ujung tombak karena banyaknya kendala dalam melakukan pembelajaran secara online.
Di saat seperti ini aku merasa menyesal jadi guru. Tugas guru adalah mendidik seorang manusia, yang bahkan masih satu spesies. Tugas guru begitu berat dan rumit karena guru memikirkan banyak hal tentang orang lain yang bahkan lebih dominan dari dirinya sendiri. Bahkan diriku sendiri merasa tak berguna dan tak bisa membantu anak-anak agar bisa belajar dari rumah secara online dengan maksimal. Perjalanan berliku menemaniku dalam setiap langkah berproses dan belajar menjadi seorang guru, hingga sampai di penghujung akhir tahun pelajaran baru 2020-2021 untuk pertama kalinya aku bisa mengikuti acara perpisahan di sekolah dengan titel “seorang guru”.
Hatiku berdebar, rasa haru dan sedih bercampur aduk, saat kakiku melangkah ke depan dengan iringan merdu lagu “Terimakasih guruku”. Momen ini menyadarkanku banyak hal mengenai guru, “sudahkah aku menjalankan amanah dengan baik?, sudahkah aku menjalankan kewajiban serang guru dengan benar?, apakah aku berhasil mendidik anak-anak?, apakah aku bisa memotivasi mereka? sudahkah menjadi guru yang juga bisa menginovasi siswa?, entahlah aku belum bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan itu. Yang pasti aku menyadari bahwa, aku merasa bersalah karena pernah terbebani dengan profesi yang ku jalani ini, terutama dalam hal mendidik seorang anak, sekarang aku baru menyadari bahwa banyak pengalaman yang istimewa dan berarti ketika menjalaninya.
Sedih rasanya ketika mengingat bagaimana pertama kali aku dipertemukan dengan mereka, menanyakan cita-cita mereka yang penuh percaya diri, tawa, canda, bahkan kenakalan mereka akan sangat kurindukan. Mereka adalah awal perjalananku menjadi seorang guru, mereka adalah orang-orang yang membuatku belajar banyak hal tentang kehidupan, mereka yang memotivasiku untuk terus memperbaiki diri, mereka yang membuatku tertawa dikala masalahku menumpuk, mereka yang membuatku bertahan menjalani profesi yang cukup sulit ku jalani.
Tangisan, pelukan dan jabat tangan mereka membuatku terharu sampai menitikan air mata, karena aku menyadari ini adalah pertemuan terakhir kami, tangisan, pelukan dan jabat tangan itu menjadi perpisahan dari pertemuan pertama kami di kelas pada Februari 2020 lalu. Seharusnya aku abadikan momen terkahir itu, tapi aku tak sempat, harusnya aku bilang pada mereka untuk foto bersama sebelum acara, bisa dibilang aku menyesal tak sempat memotret momen ini, tapi kenangan yang selama ini kudapatkan tak akan terhapus dan selalu ku ingat dalam memori jangka panjang. Mulai sekarang aku akan terus berusaha untuk belajar menjadi seorang guru betulan bukan lagi seorang guru kebetulan.
SUMAYAH
What's Your Reaction?