Tantangan Guru Indonesia Sekarang

Mar 30, 2023 - 02:36
 0
Tantangan Guru Indonesia Sekarang
Foto ilustrasi oleh tirachard di Freepik

Indonesia memiliki catatan yang kurang menggembirakan dalam hal budaya membaca. Untuk urusan minat baca, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara di dunia. Ini mengacu pada hasil studi Central Connecticut State Univesity. Indonesia hanya lebih baik dari Bostwana, sebuah negara kecil di Afrika bagian selatan. Data ini jelas sangat memprihatin- kan. Sekaligus menjadi ironi bagi proses reformasi pendidikan di Indonesia. Secara kuantitas, Indonesia memang mampu meningkatkan akses terhadap pendidikan. Jumlah siswa yang bersekolah semakin banyak. Dalam 15 tahun terakhir, Indonesia juga mampu menekan jumlah buta huruf pada penduduk berusia di atas 15 tahun. Di tahun 2003, jumlahnya masih 10,21 persen. Kini tinggal tersisa 4,5 per- sen. Artinya, 95,5 persen melek aksara.

Sayangnya, kuantitas yang gemilang itu tidak berbanding lurus dengan kualitas. Bahkan masalah ini mendapat sorotan dari Bank Dunia. Beberapa waktu lalu, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, mengatakan bahwa reformasi pendidikan di Indonesia selama 15 tahun terakhir, masih belum baik. Kualitasnya masih dianggap rendah. Dan, lagi-lagi, kemampuan literasi menjadi salah satu parameter. Bank Dunia menyebutkan 55 persen anak usia 15 tahun di Indonesia mengalami buta huruf fungsional. Bayangkan, di negara tetangga, Vietnam, jumlahnya hanya 14 persen. Pengertian buta huruf fungsional (functionally illiterate) berbeda dengan buta huruf yang berarti tidak bisa membaca sama sekali. Buta huruf fungsional adalah suatu kondisi seseorang bisa membaca, tapi tidak mampu memahami pesan yang ia baca.

Data Bank Dunia itu memang masih bisa diperdebatkan. Namun, ini semestinya tetap bisa menjadi bahan evaluasi untuk membenahi kualitas pendidikan di Indonesia. Bagaimanapun, kemampuan membaca seharusnya menjadi proses untuk menyerap pesan, serta meningkatkan pengetahuan. Kemampuan membaca hanyalah alat. Sementara menyerap pesan, dari materi yang dibaca, adalah hasil. Kemampuan seseorang dalam membaca, tanpa disertai kemampuan memahami pesan dalam bacaan, mengindikasikan bahwa kemam- puan membaca tak banyak bermanfaat bagi kehidupannya. Jika ini terjadi pada sebagian anak Indonesia berusia 15 tahun, maka daya saing mereka akan lemah di kemudian hari. Tentu ini menjadi sebuah kabar buruk.

Tingginya buta huruf fungsional, yang dihasilkan proses pendidikan di sekolah, menunjukkan lemahnya budaya literasi di sekolah. Sekolah seharusnya mampu mencegah terjadinya kondisi buta huruf fungsional. Karena itu, meningkatkan budaya literasi di sekolah adalah keniscayaan. Dalam proses ini, guru berada di garda terdepan.

Guru dan sekolah mutlak memiliki kreativitas membangun budaya baca para siswa. Materi-materi ajar jangan membuat siswa hanya sekadar menjadi para peng- hafal. Siswa harus dirangsang untuk menemukan gagasan, juga menemukan jawaban atas suatu persoalan, melalui proses literasi. Kemampuan membaca harus berkorelasi dengan peningkatan pengetahuan, serta melahirkan gagasan. Bagaimanapun, literasi adalah prasyarat penting bagi setiap orang untuk bisa maju. Peningkatan budaya literasi di sekolah tentu harus ditopang oleh pemerintah, dengan menye- diakan akses dan kesempatan pada bacaan berkualitas.

Budaya literasi kini telah menjadi kebutuhan zaman. Di era media sosial, literasi akan berguna sebagai penangkal informasi hoaks yang berseliweran di dunia maya. Lewat budaya literasi di sekolah, para siswa dibekali filter dalam menyaring informasi. Karena itu, membangun budaya literasi adalah tantangan guru di zaman now.

Bank Dunia: reformasi pendidikan di Indonesia selama 15 tahun terakhir, masih belum baik. Kualitasnya masih dianggap rendah. Dan, lagi-lagi, kemampuan literasi menjadi salah satu parameter.55 persen anak usia 15 tahun di Indonesia mengalami buta huruf fungsional."

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

Sahabat Guru Inspirasi Indonesia Maju