Pelajaran Agama Hambat Kreativitas Siswa, Ini Alasannya

Jun 21, 2021 - 05:56
Oct 1, 2021 - 10:07
 0

SahabatGuru Dunia pendidikan di Tanah Air tengah dihadapkan kepada tuntutan perubahan baru yang jauh lebih kompleks ketimbang era sebelumnya akibat revolusi industri 4.0 saat ini. Bila Pemerintah tidak mengubah arah kebijakan pendidikan nasionalnya, khususnya di tingkat dasar dan menengah, generasi yang akan datang hanya akan menjadi masyarakat konsumen. Alih-alih menggenjot pendidikan dan pengajaran yang memacu kreativitas dan inovasi siswa, Pemerintah malah memperkuat pendidikan normatif. Dan, sedihnya, sumber orientasi normatif itu adalah agama. Demikian pandangan pengamat pendidikan Darmaningtyas dalam perbincangannya dengan SahabatGuru di Jakarta, Jumat (12/10/2018). Dia menanggapi apa yang harus dilakukan dunia pendidikan di era revolusi industri 4.0. Tyas, demikian ia biasa disapa, memberi contoh sesi tadarusan di pagi hari di sekolah-sekolah reguler (negeri) di banyak daerah. Menurut dia, sesuai kurikulum 2013, pendidikan agama di sekolah bertambah dari dua jam menjadi tiga jam pelajaran di tingkat SMA dan SMK. Sedangkan di tingkat SMP dan SD menjadi empat jam. “Nuansa agamisnya kan kental sekali. Dan, itu hanya ada di Indonesia tetapi juga di Filipina. Bedanya di sini Islam, di sana Katolik. Saat pendidikan dicampur dengan agama, itu tidak akan pernah maju. Dua negara tadi contohnya,” kata Tyas. [caption id="attachment_545" align="alignnone" width="300"] Kegiatan tadarus di sebuah sekolah. (foto: sparkling-waterr.blogspot.com[/caption] Menurut dia bila hendak menyiapkan generasi yang mampu menghadapi revolusi 4.0 dan perubahan-perubahannya, pendidikan harus lebih banyak mendorong kreativitas dan inovasi siswa. “Sayangnya, kita justru menempuh jalan ke belakang. Di mana-mana pendidikan sekuler itulah yang maju,” tutur Tyas. Tyas pesimis terhadap dunia pendidikan di negeri ini mampu mengimbangi tuntutan zaman. Menurut dia, ada tiga persoalan yang dihadapi. Pertama pada tataran filosofis, orientasi pendidikan kita masih berparadigma lama. “Contohnya tadi, pemberian materi agama di sekolah-sekolah formal,” kata Tyas. Kedua, secara kebijakan dan institusional, penyelenggaraan pendidikan masih kental nuansa politis sehingga cenderung sentralistik. Dan terakhir, SDM tenaga pendidik banyak yang belum memahami apa itu revolusi 4.0. Bahkan mereka malah termasuk gaptek alias gagap teknologi. “Meski sekolah-sekolah melengkapi diri dengan fasilitas internet dan perangkat teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pengajarannya, hal itu tetap berpotensi menciptakan kontradiksi karena sesungguhnya semua itu tidak dibangun di atas pemikiran yang benar,” kata Tyas. Lalu, apakah sekolah-sekolah kita tidak perlu mempercanggih diri dengan sistem dan instrumen pendidikan digital? “Itu bagus, bahkan harus, tapi dengan syarat sekolah dapat mengembangkan sistem sendiri yang tidak terikat dengan sistem kurikulum nasional. Untuk beberapa hal, sekolah swasta lebih maju dan dapat mengikuti tuntutan revolusi industri 4.0 ketimbang sekolah negeri, karena di sana ada ruang untuk eksperimentasi dan kreativitas serta inovasi siswa,” ujar Tyas. “Hal tu terbukti dengan para juara olimpiade lebih sering diraih siswa sekolah swasta ketimbang negeri,” tutur alumni Taman Siswa ini menambahkan. Lalu, apakah dengan demikian pendidikan agama sekolah tidak penting, apalagi pendekatan kreativitas dan inovasi juga dikembangkan di sana? “Jangan salah paham, pendidikan agama itu tetap penting, tapi hal dilakukan di luar sekolah. Tanggung jawab pendidikan agama menjadi porsi orang tua dan masyarakat,” kata Tyas sembari mengutip pasal 20 Undang-Undang  No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah. Dalam undang-undang itu disebutkan, Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan peladjaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknja akan mengikuti peladjaran tersebut. “Bagi saya, sudahlah kita tidak usah membanding-bandingkan dengan pendidikan di negara-negara maju. Ini bukan tentang baik dan buruk. Kita telah membuat pilihan, ya seperti ini pendidikan kita. Mau apa?” kata Darmaningtyas retoris.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

Sahabat Guru Inspirasi Indonesia Maju