Mahkamah Konstitusi Jadi Salah Satu Penyebab Tidak Majunya Pendidikan Indonesia

Mar 14, 2024 - 11:07
 0
Mahkamah Konstitusi Jadi Salah Satu Penyebab Tidak Majunya Pendidikan Indonesia
mkri.id

Dalam beberapa pekan terakhir, sebagai konten kreator ‘newbie’ yang fokus pada bidang pendidikan saya merangkum sekurang-kurangnya ada 5 alasan utama kenapa pendidikan kita sulit maju. Catatan ini tak lain untuk memudahkan kita dalam menilai debat capres babak terakhir dengan cara yang rasional utamanya perihal pendidikan.

5. Ganti menteri ganti kurikulum

Sudah menjadi rahasia umum, “ganti menteri ganti kurikulum” atau “ganti menteri ganti kebijakan” bisa dikatakan sebagai persoalan setiap pergantian periode kepemimpinan. Pasalnya kebijakan yang berubah-ubah itu sangat berpengaruh pada murid, nggak cuma guru.

Pasti  kalian pernah kecewa dengan kebijakan zonasi. Itu karena perubahan kebijakan secara tiba-tiba. Sebelumnya, persepsi yang sudah terbangun bahwa ada sekolah unggulan, ada yang biasa aja, bahkan ada yang ‘buangan’. Melalui persepsi itu, budaya kompetisi yang terbentuk di kalangan para murid agar mampu berprestasi sampai bisa masuk sekolah unggulan.

Namun, dengan kebijakan zonasi cita-cita dan harapan itu seketika runtuh karena kita hanya diperbolehkan untuk bersekolah di sekolah-sekolah yang udah ditentukan oleh pemda. Dampaknya banyak yang mengecewakan hasil prestasi murid yang telah ia capai sebab sudah susah-susah tapi peraturannya tiba-tiba diubah.

Belum lagi yang terjadi pada guru. Perubahan kurikulum menuntut pemerintah khususnya dinas pendidikan untuk sosialisasi lagi, pendampingan lagi, adaptasi lagi, dan seterusnya. Akhirnya tujuan kurikulumnya nggak pernah nyampe karena berubah setiap 5 tahun sekali.

4. Biaya Pendidikan Tiap Tahun Semakin Mahal

Para orang tua maupun mahasiswa nggak mungkin pernah mengalami turunnya biaya sekolah atau kuliah. Kecuali ketika masa-masa sekolah dari rumah (covid). Masalahnya, kenaikan biaya pendidikan tidak berbanding lurus dengan kenaikan gaji masyarakat Indonesia. Hasil kajian Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menemukan bahwa terdapat perbandingan yang tidak berimbang antara kenaikan UMP 2024 dengan kenaikan biaya pendidikan di perguruan tinggi.

Dari 30 PTN sebagai sampel penelitian, telah terjadi kenaikan biaya studi sebesar 6,5 persen per tahun. Begitu pula perguruan tinggi swasta (PTS) yang mencapai 6,92 persen per tahun. Di sisi lain orang tua mahasiswa yang lulusan SMA mendapatkan kenaikan upah kurang lebih 3,8 persen per tahun. Begitu juga orang tua mahasiswa yang lulusan sarjana mengalami kenaikan upah sebesar 2,7 persen per tahun.

Akhirnya pendidikan yang berkualitas hanya dapat dinikmati oleh orang kaya. Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin miskin karena nggak mampu melanjutkan studinya.

3. Administrasi dan Birokrasi yang Ribet

Ini masalah yang dihadapi kebanyakan oleh guru dan dosen. Pembuatan bahan ajar, laporan, modul, dan berbagai tuntutan administrasi yang ‘bejibun’ kerap kali membuat dosen dan guru kesulitan untuk memberikan sepenuhnya perhatian kepada proses pembelajaran. Pasalnya, tugas administrasi ini harus dipenuhi karena bersangkutan dengan proses akreditasi dan tunjangan profesi mereka.

Selain tuntutan administratif, ada juga urusan birokrasi yang sama ribetnya. Contohnya, untuk bisa dapat diangkat menjadi PNS banyak banget prosedur birokrasi yang harus dijalanin udah gitu ujung-ujungnya masih menunggu panggilan tanpa kepastian yang jelas. Bahkan sampai saat ini terdapat lebih dari 1 juta guru di Indonesia yang belum jelas status keprofesiannya karena masalah birokrasi.

2. Gaji Guru dan Dosen yang Rendah

Guru dan dosen selalu dituntut profesional. Tenaga, keterampilan, dan waktu nya harus mereka curahkan sepenuhnya untuk membimbing murid dan mahasiswanya. Tapi di sisi lain kesejahteraannya belum terjamin. Aplagi gaji guru sangat memprihatinkan.

Banyak dari mereka yang mencari sampingan. Seperti membuka warung, jualan di kelas, narik ojek, dan bahkan terpaksa untuk berhenti dari profesinya sebagai pengajar lantaran bekerja di bidang laian justru jauh lebih menjamin pemenuhan kebutuhan mereka. Istilahnya “kerjanya beneran digajinya becandaan”.

Selain itu bisa kita lihat sendiri di Indonesia, belum pernah kita lihat pejabat sukses dan tajir kemudian kembali ke kampus untuk mengajar. Sebaliknya, para akademisi banyak yang berbondong-bondong agar bisa jadi pejabat karena prospek gajinya jauh lebih menjamin kesejahteraan mereka.

Dampak dari situasi ini, menjadi guru dan dosen bukanlah profesi yang menarik. Sehingga mereka yang “unggul” tidak ingin menjadi pengajar, pada gilirannya SDM pendidik kita diisi oleh mereka yang punya ambisi pada kualifikasi individu. Karena menjadi pendidik tidak prestisius.

Wajar kemudian jika anak-anak zaman sekarang banyak yang meremehkan guru serta dosen, karena dua hal; pertama, mereka tidak melihat bahwa guru dan dosen merupakan posisi yang terhormat. Kedua, mereka melihat bahwa guru dan dosen sebagai fasilitas pendidikan yang dihidupi dengan uang dari orangtuanya.

1. PUTUSAN MK TAHUN 2008 Tentang Pendidikan

Perlu diketahui bahwa alokasi 20% dana APBN/APBD untuk pendidikan itu sudah termasuk gaji guru dan dosen. Ketentuan ini baru diberlakukan sejak tahun 2008 setelah putusan MK ini disahkan.

Jadi sebelumnya gaji guru dan dosen itu tidak termasuk dalam anggaran pendidikan. Karena di UUD’45 pasal 31 ayat 4 itu memandatkan pada pemerintah untuk mengalokasikan 20% apbn/apbd nya bagi suksesnya penyelenggaraan pendidikan.

Sebelum tahun 2008, pemerintah nggak pernah memenuhi amanat UUD tersebut lantaran kendala pada alokasi apbn dan apbd pada sector lainnya. Namun di 2009 sampai sekarang, data alokasi APBN/APBD untuk pendidikan telah mencapai angka 20%. Peningkatan angka yang signifikan ini disebabkan telah dimasukkannya variable gaji guru dan dosen dalam anggaran penyelenggaraan Pendidikan.

Sebagai permisalan, untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia bukan masyarakatnya disejahterakan tetapi standar kemiskinannya yang diturunkan. Nah, akhirnya dari dana operasional yang kecil; kita dituntut untuk memilih mengorbankan antara kesejahteraan pendidik atau perbaikan sekolah yang rusak dan bantuan dana pendidikan mereka yang membutuhkan.

Ini juga yang menjadi alasan kenapa sekolah akhirnya makin mahal, guru belum sehahtera. Mau mendesak, ya nggak bisa karena peraturannya sudah diubah oleh Mahkamah Konstitusi.

Penulis :Hizba Muhammad Abror

§ 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

Sahabat Guru Inspirasi Indonesia Maju