Karakter dari Meja Makan

Jun 22, 2023 - 08:11
 0
Karakter dari Meja Makan
Foto ilustrasi di Freepik

Republik Indonesia 2 bulan lagi akan berumur 78 tahun. Kalau manusia, usia sekian tentu rata-rata sudah masuk kubur. Tapi, Indonesia?

Harus diakui, hingga kini kita justru belum juga tuntas berproses “menjadi Indonesia.” Kita mungkin malah berhenti sebagai kepompong saja. Atau, terus menjadi kanak-kanak (toddler) yang egois dan belum bisa ikut aturan. Sebagai sebuah bangsa, kita menghadapi segunung masalah, bukan hanya yang global-fundamental seperti pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan dan energi, serta kedaulatan negara; melainkan juga yang lokal-fundamental seperti jatidiri, karakter dan kualitas bangsa. Alih-alih bekerja untuk menyelesaikan semua masalah strategis itu, kita justru lebih heboh dengan proses penghancuran diri ke dalam benaman nafsu hewan korupsi di semua bidang kehidupan.

Yang membuat kondisi kejiwaan bangsa kita jadi lebih mengerikan adalah sikap para politisi yang menganggap bahwa kejahatan kemanusiaan yang luar biasa itu hanyalah sebuah “keniscayaan” yang justru diperlukan untuk pembangunan!

Kita semua prihatin.

 

Upacara Bendera

Sebagai sebuah republik yang secara kronologis sudah tergolong renta, namun secara biologis masih toddler (sekitar dua tahun), kita memang tidak akan bisa bergerak jauh dan cepat. Sebagaimana laiknya kaum renta dan balita, kita akan berjalan tertatih-tatih, bertumpu pada kekuatan tulang dan sensori motor. Belum pada tataran kekuatan nalar, strategi, prediksi dan visi. Kalau mau menjadi bangsa yang maju, kita memang harus menjalani tahap awal lagi, seperti murid Taman Kanak-Kanak. Kita harus “dilahirkan kembali” dan belajar tentang klasifikasi, urutan dan aturan terlebih dahulu. Kita pun harus belajar ke kakus secara mandiri (toilet training) agar tidak buang kotoran atau umbar aurat sembarangan.

Kita harus belajar budi pekerti dan akhlak mulia agar menjadi bangsa yang bermartabat. Penumbuhan akhlak mulia adalah kerja paling mendasar. Agama Islam pun diturunkan Tuhan ke muka bumi untuk memperbaiki akhlak manusia. Hasilnya? Kita bisa melihat, bagaimana kualitas akhlak umat Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia saat ini. Limabelas abad rupanya masih belum cukup panjang.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kita pun mulai ramai berbicara tentang pentingnya pendidikan karakter dan budi pekerti, yang sudah lama hilang dari dunia sekolah. Dunia pendidikan hanya menghasilkan murid-murid yang tinggi nilai akademisnya namun rendah nilai akhlaknya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mencoba langkah nyata dengan menerbitkan peraturan Nomor 23 Tahun 2015 mengenai Penumbuhan Budi Pekerti. Prosesnya didesain untuk dijalankan dalam enam tahap: diajarkan, dibiasakan, dilatih konsisten, menjadi kebiasaan, menjadi karakter, dan akhirnya menjadi budaya. Aktifitas yang dicontohkan antara lain upacara bendera, berdoa, dan membaca buku. Secara asumtif, kita bisa membayangkan, upacara bendera setiap hari Senin, disertai dengan pembacaan teks Proklamasi, teks Pancasila, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu patriotis, mungkin saja bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan sikap disiplin dan patriotik-nasionalis. Berdoa setiap sebelum dan sesudah melaksanakan kegiatan harian, memang penting dan mungkin bisa untuk menumbuhkan karakter religius. Sedangkan kegiatan membaca buku, memang menjadi syarat utama untuk menumbuhkan bukan hanya minat baca melainkan intelektualitas.

Jika ketiga kegiatan itu bisa dilaksanakan secara ajeg, sejak usia dini, apalagi dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanpa ancaman hukuman, hasilnya tentu akan baik. Akan tetapi, semua itu baru akan menjadi karakter dan budaya apabila digenapi dengan satu syarat: para guru, orangtua, dan para orang dewasa di sekitar anak-anak kita pun menunjukkan pola laku serupa dan memberikan keteladanan!

Makan Bersama

Sesungguhnya ada satu kegiatan harian yang lebih sederhana dan tidak memerlukan rekayasa yang pelik, namun sangat berhasil sebagai penumbuh karakter dan budi pekerti, yakni: makan bersama secara prasmanan.

Kegiatan makan kudapan pagi dan makan siang bersama murid dan guru itu sudah delapan tahun dilak- sanakan di sekolah gratis untuk kaum dhuafa TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi yang dikelola dengan menggunakan Metode Sentra.

Ada beberapa tujuan lain yang dicapai dengan kegiatan tersebut. Pertama, anak-anak tidak jajan (orangtua tidak memberikan uang kepada anak, dan oleh karena itu, otomatis tidak ada kantin dan tidak ada pedagang makanan dan minuman yang mangkal di sekitar sekolah. Orangtua pun bisa berhemat).

Kedua, menjaga kualitas gizi asupan makanan anak dan guru. Meskipun ragam makanannya terbilang sederhana karena anggaran yang minim, semua makanan itu (kecuali aneka biskuit sebagai selingan kudapan pagi) dimasak sendiri di dapur umum sekolah. Kandungan bumbu, komposisi dan kebersihannya bisa dikontrol. Dengan asupan yang sesuai kebutuhan gizi minimal, maka kesehatan anak-anak bisa terjaga. Satu hal yang pasti, sepanjang jam sekolah, perut anak-anak kenyang, sehingga mereka bisa belajar dengan fokus dan tenang.

Ketiga, penumbuhan karakter dan budi pekerti bisa dilaksanakan sebagaimana yang (enam) tahapan- nya dirumuskan oleh Mendikbud tadi. Mengingat sarapan (kudapan pagi) dan makan siang adalah kebutuhan harian bagi tubuh, dan jadwalnya ter- atur (kudapan pagi diberikan setelah anak-anak membuat jurnal pagi dan main bebas, pukul 08.30, dan makan siang pukul 11.30) maka semua anak akan mengikuti prosedur dengan senang hati. Pihak sekolah dan guru tidak perlu melakukan rekayasa pelik yang dilengkapi dengan hukuman dan imbalan.

Kegiatan makan bersama itu dikemas sebagai paket kerja yang melibatkan semua anak (satu kelas idealnya 12 anak). Guru hanya memberikan arahan dan bantuan seperlunya. Tim Dapur menyiapkan jatah makanan untuk setiap kelas termasuk perlengkapannya seperti piring, sendok, garpu, gelas sesuai dengan jumlah murid yang masuk hari itu.

 

Makanan siap saji berikut perlengkapan untuk masing-masing kelas kemudian diletakkan di meja persiapan secara rapi. Ketika waktunya tiba, anak-anak dari setiap kelas dengan tertib mengambil “jatah kelasnya” sesuai dengan tanda yang dibubuhkan. Untuk mengangkat makanan dan perlengkapannya dari meja persiapan ke kelas masing-masing, diperlukan kerja- sama sekitar lima anak, yang bergerak atas inisiatif masing-masing. Guru hanya mengatakan, “Alhamdulillah, makanan untuk pagi/ makan siang sudah tersedia. Siapa yang mau membantu mengambilnya?”

Anak-anak yang tidak mengambil makanan tersebut, tidak tinggal diam. Mereka juga bekerja menyapu lantai, menyusun meja dan kursi untuk kebutuhan makan bersama dalam pola lingkaran atau segi empat. Setelah makanan dan perabotannya tiba di tiap kelas, pertama-tama dibagikan secara estafet alat-alat makannya (piring, sendok, gelas). Arahnya, mulai dari kiri atau dari kanan, ditentukan melalui kesepakatan kelas.

Juga disepakati bersama siapa yang hari ini dapat giliran duduk di sebelah kanan atau kiri guru. Duduk di sebelah guru adalah “kehormatan” yang dikonsepsikan sendiri oleh anak-anak, bukan oleh guru. Maka, guru harus bisa menjadi pamong yang adil demi terjaminnya kesempatan yang sama bagi setiap anak. Maklum, anak-anak, sesuai tahap perkembangannya, cenderung mau memonopoli segala sesuatu.

Setelah itu, baru diestafetkan bakul nasi, diikuti mangkuk sayur, lauk, sambal. Setiap anak boleh mengambil sesukanya. Namun, agar anak-anak tidak mengambil berlebihan, guru selalu mengingatkan dengan kalimat, “Teman-teman, silakan ambil secu- kupnya sesuai kebutuhan. Kita harus menghabiskan makanan yang sudah diambil.” Jika ada tersisa sayur atau lauk, anak-anak yang mau menambah biasanya membuat kesepakatan tentang cara pembagian yang tersisa itu, apakah dibagi delapan, enam, empat dan seterusnya.

Sesudah makanan siap di piring masing-masing, guru membahas tentang proses, bahan dan kandungan vitamin dari semua makanan yang akan disantap. Setelah itu, mempersilakan siapa yang akan memimpin doa sebelum makan. Seusai makan, dibacakan doa sesudah makan. Lalu, anak-anak kembali bekerjasama beres-beres, membawa perkakas makan ke dapur, menumpuk meja-kursi di pinggir, menyapu ruangan, dan menggelar karpet untuk sholat dzuhur. Anak-anak kelas IV, V dan VI SD sholat berjamaah di mushola karena kelompok usia tersebut sudah siap dan bisa mengikuti aturan. Sebelum sholat, mereka antre untuk sikat gigi dan ambil air wudlhu. Seluruh kegiatan makan bersama itu membangun anak untuk mampu melakukan: kerjasama, negosiasi, disiplin, sabar, qonaah (secukupnya), antre/bergantian, bersyukur, peduli, sayang teman, toleran, tanggung jawab, penyelesaian masalah. Juga mengandung pelajaran sains, matematika dan bahasa.

Semua karakter dan budi pekerti itu ditumbuhkan di meja makan, dengan penuh kegembiraan. Setiap hari. Selama dua atau tiga tahun di TK. Dilanjutkan selama enam tahun di SD. Jadi, tidak hanya setiap hari Senin. Maka, bisa Anda bayangkan, apa yang terjadi pada jiwa-raga anak-anak kita itu?

 

Yudhistira ANM Massardi

Sastrawan, Wartawan, Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

Sahabat Guru Inspirasi Indonesia Maju