Jalan Terjal Mendidik Orang Rimba

Jun 23, 2023 - 06:55
 0
Jalan Terjal Mendidik Orang Rimba
dokumen KKI WARSI

Derai tawa anak-anak terdengar, memecah kesunyian di kaki Taman Nasional Bukit 12, Sarolangun, Provinsi Jambi. Sejumlah anak Orang Rimba, atau biasa disebut Suku Anak Dalam, larut dalam kegembiraan saat bermain bersama Yohana Pamela Marpaung dan Jauharul Maknun, aktivis KKI Warsi, di desa Bukit Suban, Air Hitam, Sarolangun. KKI (Komunitas Konservasi Indonesia) Warsi adalah organisasi nirlaba yang peduli pada suku asli di pedalaman. Orang Rimba sendiri merupakan suku asli yang tinggal secara berkelompok di dalam hutan Taman Nasional Bukit 12.

Bermain dan belajar. Itulah cara Yohana dan Maknun mendidik anak-anak Orang Rimba. Bahkan Yohana tak segan berbaring bersama anak-anak di tenda yang kumuh, sambil membacakan buku cerita. Memberi pendidikan pada anak-anak Orang Rimba memang menjadi salah satu perhatian KKI Warsi.Beberapa aktivis, seperti Maknun dan Yohana, masuk dan tinggal selama beberapa pekan di dalam hutan, demi bisa mendidik anak-anak Orang Rimba.

Mereka mengajarkan cara membaca, menulis dan berhitung. Kegiatan ini telah berlangsung sejak tahun 1998. “Sekarang, lebih dari sebagian anak-anak Orang Rimba sudah bisa baca tulis,” ucap Jauharul Maknun. Saat ini, ada 5.235 warga Orang Rimba yang tinggal di belantara hutan Taman Nasional Bukit 12 Provinsi Jambi. Sebagian besar berada di Kabupaten Sarolangun. Sebelumnya, warga Orang Rimba nyaris tidak tersentuh pendidikan. Jarak yang jauh dari sekolah, sebaran kelompok Orang Rimba yang berjauhan, serta ketidakmampuan berbahasa Indonesia, menjadi kendala.

Sejak 2004, KKI Warsi mulai memasukkan anak-anak Orang Rimba ke sekolah formal. “Warga Orang Rimba sering bertanya, ‘apakah kami juga bisa jadi camat atau pegawai?’ Untuk mewujudkan cita-cita itu, tentu saja mereka harus memiliki ijazah melalui sekolah formal,” kata Sukma Reni, humas KKI Warsi.

Lewat kerja sama dengan pemerintah daerah, beberapa anak-anak Orang Rimba bisa ikut belajar di Sekolah Dasar (SD). Mereka keluar dari hutan, dan tinggal di mess yang disediakan KKI Warsi. Namun mereka mendapat perlakuan khusus, misalnya tidak harus masuk sekolah tiap hari. Pihak pemda juga menyediakan tenaga pengajar honorer, untuk menemui langsung anak-anak Orang Rimba. Hingga kini, kata Sukma Reni, “Sudah ada 150 anak Orang Rimba yang sudah mengenyam pendidikan formal.”

Namun berbagai kendala mesti dihadapi Orang Rimba dalam menempuh pendidikan formal. Bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa pengantar di sekolah, cukup membingungkan mereka, karena sehari-hari terbiasa menggunakan bahasa Orang Rimba. Selain itu, sejumlah pelajaran di sekolah tidak relevan untuk Orang Rimba. Pelajaran Agama, misalnya, dirasa membingungkan, karena selama ini Orang Rimba menganut politeisme dengan mempercayai banyak dewa dan roh gaib. Tradisi Orang Rimba yang hidup nomaden alias berpindah-pindah, juga menjadi salah satu kendala. Ketika orang tua mereka pindah, otomatis anak Orang Rimba harus ikut orang tua dan mening- galkan sekolah. Itulah sebabnya, banyak anak Orang Rimba yang kemudian putus sekolah.

Pendidikan formal anak-anak Orang Rimba di Sarolangun rata-rata hanya sampai tingkat SD. Namun ada juga yang bisa sekolah hingga tingkat SMA. Bahkan salah satu warga Orang Rimba, Basudut (berganti nama menjadi Irman Jalil), bisa kuliah FKIP Universitas Jambi. Sayangnya, ia hanya bisa kuliah hingga semester tiga, karena kesulitan menyesuaikan diri.

Upaya mendidik Orang Rimba memang seperti jalan terjal. Namun itu harus tetap dilalui demi memenuhi hak Orang Rimba, sebagai warga negara Indonesia, untuk mendapatkan pendidikan.

Rizgar Keven

 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

Sahabat Guru Inspirasi Indonesia Maju