HUKUMAN ITU BAGIAN DARI PENDIDIKAN

Mar 21, 2023 - 03:06
May 11, 2023 - 07:39
 0
HUKUMAN ITU BAGIAN DARI PENDIDIKAN
Foto ilustrasi oleh niu niu di Unsplash

Menanggapi maraknya kriminalisasi terhadap guru yang mendisiplinkan siswanya, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY ) Suyanto memandang hal tersebut sebagai bagian dari euforia terhadap perlindungan   anak dan hak asasi manusia. Euforia itu kini sudah berstatus lampu kuning, sehingga banyak guru yang mengalami trauma karena takut dikriminalkan. “Bahkan sudah ada guru yang melakukan pembiaran terhadap anak-anak, karena kalau ditegur toh dikriminalkan,” kata Suyanto saat ditemui di ruang kerjanya, Kantor Senat Fakultas  Ekonomi UNY.

Pemberian sanksi oleh guru kepada siswa merupakan bagian dari pendisiplinan. Suyanto memandang guru yang memberikan sanksi dalam rangka mendidik tidak bisa dikriminalkan. Ia merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) ketika menganulir hukuman yang dijatuhkan kepada Aop Saopudin, seorang guru di Majalengka yang dikriminalisasi karena merazia siswanya yang berambut gondrong. Dengan keputusan itu Aop menerima vonis bebas murni. “Maka saat masih di dirjen saya mendorong para guru agar tidak perlu traumatik ketika akan memberi sanksi siswa”.

Mengantisipasi agar tidak terjadi lagi kriminalisasi terhadap guru yang mendisiplinkan siswanya, Suyanto berpendapat aturan yang ada harus diperkuat. Perlu ada aturan yang lebih teknis, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan guru saat  memberi sanksi, sehingga jelas ukurannya. Aturan teknis tersebut tidak harus berskala nasional, karena setiap daerah memiliki situasi yang berbeda. “Misalnya bisa buat  aturan di provinsi, kepala dinas kan bisa buat aturan, begitu juga bupati,” ujar Rektor UNY periode 1999-2007 tersebut.

Sejauh ini terdapat setidaknya dua produk peraturan perundang-undangan yang menjadi legitimasi bagi guru untuk memberi sanksi kepada siswa sesuai kaidah yang ditentukan. Keduanya yakni UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 tentang Guru khusus- nya Pasal 39. Aturan inilah yang dimaksud oleh Suyanto perlu diturunkan menjadi aturan yang lebih teknis di level daerah.

Meski secara hukum mendapat legitimasi, bukan berarti guru bebas sebebas-bebasnya dalam memberikan sanksi kepada siswa. Misalnya, secara pedagogis menghukum siswa tidak boleh dilakukan di depan publik. Sehingga tidak dibenarkan siswa dibentak di depan kelas hingga yang bersangkutan merasa dipermalukan. “Secara pedagogis memberi sanksi itu saat empat mata,” terang mantan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kementerian Pendidikan  tersebut.

Sanksi sebaiknya diberikan dalam bentuk teguran. Itu pun ada saran dari Suyanto, yakni “menegur juga harus menggunakan bahasa dan narasi yang halus, namun pesannya kuat”. Jika teguran tidak mempan dan amat terpaksa melaku kan sanksi fisik, ia menyarankan agar   pemberian sanksi fisik itu mengakibatkan  cedera dan meninggalkan bekas. Sanksi fisik dalam konteks ini masih dibenarkan  secara pedagogis. Berbeda halnya jika menampar atau memukul hingga cedera dan pingsan, hal tersebut sudah sah untuk  dikriminalkan.

Kendala hukum berikutnya yang kerap menyeret guru ke ranah hukum adalah dalih perlindungan terhadap anak yang dijamin oleh UU Perlindungan Anak. UU tersebut akan kontra-produktif jika tidak diatur implementasinya di lapangan. Suyanto menghimbau bahwa perlindungan anak harus dijelaskan bagaimana tafsirnya, karena sanksi juga merupakan perlindungan terhadap anak agar ia tidak terjerumus   pada penyimpangan nilai dan moral.

Selain memperkuat aturan hukum, kriminalisasi terhadap guru bisa dihindari dengan cara meningkatkan profesionalisme guru itu sendiri. Salah satu unsur profesionalisme guru adalah paradigma bahwa menghukum siswa adalah mendewasakan siswa. Apabila semua guru memiliki paradigma seperti itu tidak akan terjadi hukuman yang berlebihan, yang bisa jadi  berlandaskan emosi, sehingga menyeret guru menjadi seorang kriminal.

Di luar aturan hukum dan profesionalisme guru, orangtua juga harus ikut me mahami bahwa sanksi adalah bagian dari pendidikan. Jika anaknya diberi sanksi,  hal pertama yang bisa dilakukan orangtua adalah meminta klarifikasi kepada sekolah   atau guru bersangkutan. Sehingga di sana terjadi dialog dan proses saling memaha mi. “Bukan malah langsung naik pitam, lalu melaporkan ke polisi,” sesal Suyanto. Mengenai pernyataan bahwa hukuman atau sanksi terhadap siswa dihapuskan sama sekali, dengan tegas Suyanto berbeda pendapat. Baginya, pemberian sanksi oleh guru kepada siswa bukanlah akar masalahnya. Hukuman adalah bagian dari ongkos pendidikan untuk memba ngun karakter siswa. Jika siswa dibiarkan,  guru tidak diberi instrumen untuk memberi sanksi, maka siswa akan liar.

“Hukuman itu kebutuhan siswa, namun harus tepat dosisnya,” ujar Suyanto. Hukuman seperti obat. Harus diberikan dengan dosis yang pas. Jika pas ia akan menyembuhkan, Jika berlebihan ia akan merusak. Namun jika sama sekali tidak diberi hukuman dipastikan ia malah   akan tumbuh liar.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

Sahabat Guru Inspirasi Indonesia Maju