Di Atas Tanah Di Bawah Langit

Pengabdian di wilayah terdepan terluar tertinggal di Propinsi Papua, Kabupaten Asmat

Mar 16, 2023 - 06:54
Mar 31, 2023 - 02:17
 0
Di Atas Tanah Di Bawah Langit
Kondisi di Wilayah Kabupaten Asmat
Di Atas Tanah Di Bawah Langit

Di Atas Tanah Di Bawah Langit

Masih kuingat jelas bagaimana pengalaman pertamaku naik pesawat pertama, Program SM-3T inilah yang mengantarkannya,  dan pengalaman pertama naik pesawat ini langsung terpuaskan karena harus gonta ganti pesawat tiga kali dan total 6 jam perjalanan selama di pesawat dan jika dihitung dengan lama transit dan tidur di bandara maka ada total 1 hari 1 malam perjalanan untuk bisa sampai di ibukota kabupaten mimika, yaitu Timika, dan membutuhkan waktu perjalanan 8 jam lagi menggunakan kapal laut untuk bisa mencapai ibukota kabupaten penempatan saya yaitu kota Agats, Kabupaten Asmat, salah satu kabupaten terpencil di Indonesia yang menjadi target pemeraatan pendidikan oleh pemerintah.

Gambar. Suasana di Pelabuhan Agats

Dengan menggunakan kapal laut KM TATAMAILAU Pada hari Minggu subuh tanggal 23 Agustus2015 saya tiba di Agats ibukota Kabupaten Asmat dengan 50 peserta SM3T dari Universitas Negeri Medan dan 20 peserta SM-3T dari Universitas Pendidikan Indonesia. Dari atas kapal laut saya melihat dari kejauhan kondisi kota Agats, Wah.... sungguh suatu pemandangan yang tidak biasa karena di kota inilah saya baru menyadari ternyata memang masih ada wilayah yang statusnya ibukota kabupaten, tetapi kondisi wilayah dan bangunannya masih nonpermanen (terbuat dari papan) baik itu bangunan pemerintahan  maupun rumah para penduduk hanya pelabuhan Agats dan menara suar pemantau pelabuhan yang terlihat kokoh dan terbuat dari bangunan permanen, di wilayah ini juga saya baru mengetahui ada wilayah yang seluruh wilayahnya dihubungkan oleh jembatan kayu, dan setiap rumah di kota ini memiliki tiang pancak untuk meninggikan rumah, karena memang wilayah ini adalah wilayah rawa-rawa yang masih dipengaaruhi pasang surut air laut. Sangat cocok menurut saya kabupaten ini disematkan dengan gelar kota papan, atapun kota dengan seribu jembatan, dan jika melihat semua struktur bangunan dan jembatan di kabupaten ini maka bisa juga dibuat istilah untuk kabupaten ini secara keselurahan yaitu “Negeri diatas Tanah di Bawah Langit”

Gambar. Kondisi Jembatan di Agats

Setiba di pelabuhan kami disambut oleh perwakilan dari Kabupaten Asmat, dan diarahkan untuk menuju aula dinas pendidikan Kabupaten Asmat, akan tetapi karena banyaknya barang bawaan kami dan besarnya koper kami, maka perwakilan dinas menyewa beberapa orang tukang pikul untuk membantui kami menunrunkan barang dari atas kapal ke bawah serta membantu membawanya ke tempat penginapan kami yang jaraknya menurut beliau cukup jauh. Fiuh... sungguh melelahkan ternyata jarak dari pelabuhan ke aula dinas pendidikan ternyata menempuh waktu 30 menit perjalanan jika berjalan kaki, apalagi kondisi jalan yang berupa jembatan kayu, dan ketika dilewati beramai ramai akan terdengar bunyi derapan kaki yang dan jembatan yang serasa bergoyang, awalnya saya merasa takut dan ragu apakah jembatan ini kuat menahan beban kami yang berjalan beramai ramai, akan tetapi dijelaskan oleh pendamping dari pemerintahan kabupaten Asmat bahwa jembatan ini terbuat dari kayu besi, merupakan salah satu kayu terkuat yang ada di bumi, membuat kami agak yakin dan berkurang rasa khawatirnya.

Akhirnya kami tiba di aula dinas pendidikan kabupaten asmat untuk serah terima guru dari LPTK Unimed ke Pemerintah Kabupaten Asmat, dan dilanjutkan dengan makan pagi, dan setelah selesai dilajutkan dengan sosialiasi dengan masyarakat sekitar. Selama sosialisasi dan perkenalan dengan masyarakat satu hal yang saya dapat yaitu “keramahan” dan rasaa hormat masyarakt asli terhadap para guru, karena setiap jumpa dengan kami para guru mereka selalu menyapa kami dengan sapaan “Selamat pagi pa/bu guru” demikian juga jika siang atau malam mereka selalu menyapa kami, sungguh rasa haru yang luar biasa, karena disinilah kami merasakan arti kami sebagai guru yang sangat dihargai bukan hanya oleh anak didik, tetapi juga dihormati masyarakat sekitar.

Gambar. Penyambutan di Desa Tomor

Dua hari kemudian peserta SM3T baik dari Universitas Negeri Medan maupun dari Universitas Pendidikan Indonesia dibagi penempatannya dalam beberapa distrik. Saya sendiri ditempatkan di Distrik Suru-suruyang ibu kotanya di Suru-suru. Bersama dengan 8 orang peserta SM3T lainnya, kemudian kami berangkat pada tanggal 27 Agustus 2015 yang diantarkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat dengan menggunakan speed boat, ini pengalaman pertama saya naik speed boat karena sebelumnya saya belum pernah naik speed boat, sensasi yang saya rasakan adalah cukup menyenangkan dengan hembusan angin yang kencang, suara speed yang menderu dan disuguhi dengan pemandangan hutan bakau dan manggrove yang masih terhampar luas di kabupaten Asmat, namun kami hanya bisa sampai di desa Tomor karena musim kemarau yang terjadi di Kabupaten Asmat sehingga speedboat tidak bisa melanjutkan perjalanan ke desa suru-suru, ujin ajin dan jifak yang sudah merupakan kawasan bebatuan dimana air sungai-sungai yang digunakan untuk menuju wilayah ini debit airnya dipengaruhi oleh intensitas hujan bukan lagi dipengaruhi oleh pasang surut air laut seperti sungai-sungai pada umumnya yang terdapat di daerah rawa di Kabupaten Asmat,

 

Gambar. Suasana di desa Tomor

Di desa Tomor pengantar dari Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat menyerahkan kami secara simbolik kepada Kepala Desa, Sekretaris Desa dan bapak guru Yohanes yang merupakan guru di SD Inpres Tomor, Desa Tomor merupakan suatu desa di Distrik Suru-suru Kabupaten Asmat yang jauh dari pemikiran kita tentang desa-desa seperti yang ada di Propinsi ataupun Kabupaten yang sudah maju, di desa ini listrik dari PLN belum ada, sehingga masyarakat pendatang menggunakan sel surya dan tenaganya diisi ke baterai AKI mobil dengan menggunakan konverter sehingga bisa dipakai untuk sumber listrik pada siang hari dan malam hari sedangkan masyarakat asli belum memiliki sel surya sehingga kebutuhan penerangan pada malam hari masyarakat menggunakan lilin dan senter charger ada beberapa pendatang yang membuka kios di desa ini yang menggunakan genset ataupun mesin diesel untuk peneranganyang hanya dihidupkan selama 6 jam pada malam hari, dimulai pukul 19.00 WIT hingga pukul 01.00 WIT untuk keperluan mencharger handphone dan laptop kami menumpang di rumah masyarakat yang memiliki genset ataupun mesin diesel satu hal lagi yang cukup menantang bagi yang tinggal di desa ini ialah ketiadaan jaringan, sehingga handphone secanggih apapun hanya bisa dipakai untuk mendengar musik dan senter, karena jangankan untuk internet untuk menelpon dan sms juga tidak bisa, masyarakat disini jika ingin menyampaikan atau menerima kabar hanya dapat menggunakan telepon satelit yang dibebankan 20.000 permenitnya, di desa Tomor juga banyak rumah-rumah tradisional papua (jew) beberapa kios, rumah-rumah yang terbuat dari kulit sagu, 2 buah gereja dan satu puskesma, suatu pengalaman yang tidak terbayangkan karena kemungkinan pasti kami akan tinggal di rumah tradisional masyarakat papua atau yang dalam bahasa setempat disebut jew yang tidak berpintu dan tentunya pasti akan penuh sesak dan banyak nyamuk, akan tetapi di luar dugaan kami ditempatkan di rumah guru yang sudah tersedia, yang sudah memiliki tempat penampungan air dan kamar mandi sehingga tidak perlu mandi ke sungai, namun karena jumlah kami yang ada 8 orang dan musim kemarau sehingga hujan tidak turun, maka air ditempat penampungan habis dan kami untuk keperluan mandi pergi kesungai ataupun menumpang mandi ke puskesmas yang tempat penampungan airnya banyak.

Gambar. Proses Belajar di SD Tomor

Menunggu musim kemarau berakhir saya dan rekan guru SM-3T turut membantu teman guru yang memang ditempatkan di SD Inpres Tomor, kami berdelapan mengajar di SD Inpres Tomor yang hanya memiliki 3 ruang kelas dan tidak ada ruang guru atapun ruang-ruang lainnya yang biasanya kita temui di sekolah-sekolah yang sudah maju, kami membagi siswa yang ada menjadi 3 kelas yaitu : kelas mengenal huruf, kelas mengeja dan kelas membaca, dan saya mendapat tugas mengajar di kelas membaca, hal ini karena masih banyak siswa di SD Inpres Tomor yang belum bisa membaca meskipun sudah duduk di kelas 6, di desa ini baru saya jumpai peristiwa seperti ini, dimana terjadi ketidakmerataan prasarana dan sarana pendidikan, ketidakmerataan pembangunan dan ketidakmerataan tenaga pendidik, karena di SD Inpres Tomor ini hanya memiliki satu orang guru yang aktif, meskipun di papan nama guru sebenarnya ada 4 orang guru yang ditempatkan pemerintah di SD Inpres Tomor ini, namun 3 orang lainnya mangkir dari tugas.

Sama seperti di kota Agats, penduduk di desa Tomor ini juga sangat menghormati guru, mereka selalu menyapa jika berjumpa dijalan dengan kami, dan bahkan ketika pulang sekolah, para siswa datang membawa sayur dan kayu bakar kerumah kami, bahkan kayu bakar bukan hanya dibawakan oleh siswa tetapi juga dibawa “mama mama” (sebutan untuk ibu di wilayah papua) sehingga kayu bakar yang dibawa menggunung dibelakang rumah dan bisa untuk persediaan selama 3 bulan, hehehehe... Di desa Tomor ini juga baru saya jumpai anak-anak masih berumuran kurang lebih 6 tahun sudah merokok di depan umum layaknya orang dewasa, karena pengaruh orang-orang dewasa yang dia lihat dan kurangnya pendidikan akan bahaya merokok bagi anak-anak. SD Inpres Tomor memiliki jumlah murid 30 orang dan terdapat 27 orang siswa asli papua dan 3 orang siswa pendatang.

Setelah menunggu seminggu dan hujan tidak kunjung datang juga, kami guru SM-3T yang tidak sampai penempatan, memutuskan untuk kembali ke Agats yang merupakan Ibukota Kabupaten Asmat dan meminta penempatan baru ke Dinas Pendidikan, karena jika kami terus berada di Tomor tidak efesien, sementara masih banyak sekolah yang kekurangan guru, dan di SD Inpres Tomor ada delapan orang guru dan kelasnya hanya ada 3 ruang kelas. Kami kembali ke Agats dengan menggunakan speedboat masyarakat yang ingin ke agats, tiba di Agats kami menjumpai Bapak Robert yang bertugas untuk membagi penempatan kami, dan saya (Rio) dengan rekan saya (Juni) ditempatkan di SMA Negeri 1 Atsj yang berlokasi di Atsj, ibukota Distrik Atsj yang kepala sekolahnya melapor membutuhkan guru Sosiologi dan guru Geografi, karena ketiadaan guru mata pelajaran tersebut.

Kesan awal saya ketika mendengar penempatan saya di SMA Negeri 1 Atsj, saya membayangkan sekolah ini pasti sudah maju, sudah harus menggunakan RPP dan laptop sebagaimana mestinya yang sekolah-sekolah SMA yang ada di kota, apalagi mendengar cerita dari keluarga yang ada di Agats yang mengatakan SMA Negeri 1 Atsj sudah bagus, sehingga saya mempersiapkan segalanya mulai dari RPP hingga meminjam laptop teman, karena saya tidak membawa laptop dari kampung, juga membaca materi-materi geografi SMA agar siap dalam mengajar siswa-siswa SMA nantinya. Kami berangkat dari Agats ke Atsj (tempat pengabdian) dengan menggunakan Kapal LCT Sanpai milik Pemda Asmat, perjalan yang cukup panjang karena membutuhkan 24 jam perjalanan, karena bobot kapal yang besar dan muatannya yang berat membawa bahan-bahan bangunan untuk membangun pelabuhan di desa sogoni, sedangkan jika menggunakan KMP membutuhkan waktu 8 jam, speedboat 3 jam dan speed boat 2 jam.

Gambar. Suasana di Pelabuhan Atsj yang sudah bagus

Setibanya di dermaga Atsj kami melihat memang kampung Atsj sudah kelihatan ramai, sudah jauh lebih banyak kios-kios pedagang dibandingkan dengan di desa Tomor, meskipun tidak seramai di Agats yang merupakan ibukota Kabupaten, kami guru SM-3T penempatan baru yang ditempatkan di Distrik Atsj berjumlah 2 orang dijemput oleh Kepala UPTD Distrik Atsj dan selanjutnya diserahkan kepada Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Atsj, tiba di sekolah memang keadaan sekolah sama seperti yang sudah bayangkan, ruang guru, laboratorium, internet sekolah dan proyektor sudah tersedia di sekolah, namun yang menjadi kendala adalah sebagain besar siswa di SMA Negeri 1 Atsj, khususnya siswa asli Papua, masih ada yang belum lancar membaca, dan tidak dapat berhitung dengan baik sehingga meskipun sarana dan prasarana sekolah sudah lengkap dan jumlah guru di sekolah ini sudah banyak, serta meratanya kebutuhan guru sesuai dengan bidang ilmunya namun karena siswa masih banyak yang belum lancar membaca dan berhitung membuat kami rekan guru tidak maksimal dalam mengajarkan yang sebenarnya yang harus diajarkan kepada anak SMA, dalam mengajar terkadang kami masih harus mengajarkan berhitung dan membaca agar paling tidak setelah tamat SMA siswa-siswi kami sudah lancar membaca dan berhitung, saya dan rekan guru membuat les sore membaca dan berhitung agar tidak menggangggu jadwal belajar di pagi hari.

Gambar. Pendidikan yang tidak mengenal usia

Rekan-rekan guru di SMA Negeri 1 Atsj sangat banyak membantu kami guru SM-3T dalam mendidik anak-anak Papua yang tentunya berbeda cara mendidiknya dibandingkan anak-anak lain yang tingkat pengetahuannya sudah berkembang, dari rekan-rekan guru SMA juga kami belajar banyak keterampilan seperti menanam pondasi kayu, tarian asmat dan budaya-budaya asmat yang belum kami ketahui sebelumnya, dari kesan yang saya dapatkan selama mendidik bersama rekan-rekan guru di SMA Negeri 1 Atsj sangat menyenangkan karena selain saya memberi ilmu tentang metode pembelajaran dan hal-hal baru mereka juga mebagikan ilmunya buat saya, baik dalam mendidik siswa, cara bergaul dengan masyarakat dan memanagement sekolah yang tentunya mereka lebih berpengalaman karena ada guru yang sudah 20 tahun mengabdi di daerah tersebut.

Mengajar di SMA Negeri 1 Atsj sangat menyenangkan siswa-siswanya baik, ramah dan sangat sopan terhadap guru, jika bertemu di jalan mereka selalu mengucapkan salam, kekurangan mereka hanya masih kurangnya daya analisis dalam memahami pelajaran, tingkat kerajinan yang masih sangat kurang, karena ada siswa yang hanya datang ketika ujian mid dan ujian semeter saja, dan daya tanggap terhadap pelajaran yang kurang karena kurangnya asupan gizi dari makanan, serta masih banyak siswa yang belum lancar membaca dan berhitung karena kurang meratanya tenaga pendidik di sekolah-sekolah SD dan SMP asal mereka, sehingga banyak anak-anak SD dan SMP yang lulus SD dan SMP tanpa mengikuti proses pembelajaran yang sesungguhnya karena ketiadan guru.

SMA Negeri 1 Atsj memiliki 10 ruang belajar terdiri dari 4 ruang kelas X, 3 ruang kelas XI dan 2 ruang kelas XII dan satu kelas dipakai untuk ruang belajar Paket C, karena minat masyarakat yang sudah berumur untuk mengenyam pendidikan disini cukup tinggi, apalagi dengan adanya persyaratan dari pemerintah yang mengharuskan aparat kampung minimal tamatan SMA, sehingga membuat mereka berusaha untuk mendapatkan ijazah SMA yang satu-satunya bisa diperoleh dengan program penyetaraan pendidkan SMA yang lebih umum dikenal dengan sebutan Paket C.

Gambar. Kegiatan belajar di luar lingkungan sekolah

Pada saat awal mengajar selama semester ganjil saya mengajar kelas X dan XI daya mengajarkan Geografi dan Bhs. Indonesia karena di sekolah ini guru Bhs.Indonesia masih kurang, di awal pengajaran saya cenderung menekankanCALISTUNG (Baca, Tulis dan Hitung) perkelas, karena ada beberapa siswa yang kurang lancar membaca dan hitung juga mereka belum mengerti dan masih lemah apalagi tentang pengurangan, perkalian dan pembagian yang dasar. Tidak jarang saya berulang kali menjelaskan hal yang sama di depan kelas agar para siswa benar-benar mengerti. dan penanaman karakter terhadap para peserta didik terutama kerajinan, karena dengan rajin ke sekolah maka tidak mustahil bagi mereka dapat mengejar ketertinggalan mereka selama ini.

Saya juga cukup tercengang dengan tingkat kehadiran mereka yang begitu memperihatinkan. Padahal di absen siswajumlah siswa sekitar 22 orang tiap kelas, namun yang hadir hanya rata-rata 15 orang tiap kelas, ini disebabkan karena orangtua mereka banyak yang mengajak anak-anaknya ke hutan untuk mencari gaharu, menebang pohon sagu untuk makan, mencari ikan di laut dan ada memang siswa yang memang malas untuk sekolah dan lebih memilih untuk bermain-main. Untuk memotivasi siswa agar tidak malas sekolah kami guru SM-3T bersama rekan guru lainnya selalu memberikan pandangan bahwa suatu saat kayu gaharu akan habis, berbeda dengan ilmu yang tidak akan pernah habis dimakan masa, selalu memberikan pandangan bahwa orang-orang sukses dan berhasil di seluruh dunia bisa seperti itu, karena mereka rajin belajar dan sekolah. Selain itu sebagai pencegah rasa malas, sekolah membuat peraturan untuk tidak menaikkan siswa yang lebih banyak absen daripada hadirnya dan kepada siswa yang hanya datang ketika ujian.

Gambar. Belajar Tambahan Calistung di sore hari

Bersama teman sepengabdian saya, kami juga memberikan les calistung kepada siswa-siswa asli Papua. Pemberian les tambahan dilakukan pada sore hari di sekolah. Kegiatan ini dilakukan agar dapat membantu mereka selama setahun mereka ada perubahan menjadi lebih baik untuk membaca, menulis dan berhitung, disamping calistung juga kami beserta rekan-rekan guru SMA lainnya mengadakan kegiatan ekstrakulikuler yang memang merupakan program sekolah kegiatan ekstrakurikuler meliputi : beladiri (taekwondo), futsal, tenis meja, bulu tangkis, bola volly, bina iman dan pramuka.

Setelah semester ganjil selesai , disemester genap saya saya di beri tugas tambahan untuk mengajar TIK di kelas X, dan tidak lagi mengajar Bhs. Indonesia karena sudah datangnya tambahan guru Bhs. Indonesia yang datang bertugas di SMA Negeri 1 Atsj.Disemester ganjil ini saya masih menekankan peroses belajar membaca dan berhitung dan penanaman karakter terhadap para peserta didik terutama kerajinan, karena dengan rajin ke sekolah maka tidak mustahil bagi mereka dapat mengejar ketertinggalan mereka selama ini.

Kami guru-guru SM-3T dan rekan-rekan guru se distrik Atsj juga mengadakan serangkaian kegiatan dalam rangka memperingati Hari guru dan hari pendidikan Nasional yang dimulaidari tanggal 26 hingga tanggal 2 Mei yang merupakan puncak perayaan. Kegiatannya terdiri dari beberapa perlombaan seperti fashion show, tari kreasi, lomba lari, sepak bola mini, paduan suara dan lomba mewarnai yang diikiuti oleh seluruh sekolah di distrik Atsj. Ada satu hal penting yang saya dapat disini, awalnya saya menganggap siswa saya tidak akan mampu karena mereka sering mengatakan  saya tidak bisa bapak guru, tapi ketika siswa di motivasi terus menerus untuk maju walaupun dengan fasilitas yang terbatas mereka bisa.

Gambar. Pendampingan Pelajar dalam lomba Pidato Bhs.Inggris

Secara umum, program SM-3T ini memang sangat bermanfaat bagi pengembangan kapasitas diri peserta sendiri dan bermanfaat bagi sekolah yang di tempatkan, terlebih tidak ada anggaran yang dibebankan kepada pemerintah daerah. Namun sebagai salah seorang peserta SM3T, saya sangat berharap keberlangsungan program ini dengan terus dilaksanakan setiap tahunnya dengan melibatkan sarjana-sarjana muda pendidikan yang tangguh dan kreatif.

Gambar. Peserta SM3T Angkatan V UNIMED

Files

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

Rio Panggabean, S.Pd,Gr NAMA : RIO LAUREND PANGGABEAN S.Pd.,Gr Guru : IPS INSTANSI : SMP Negeri 2 Parbuluan, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara