Belajar Terkendala Sinyal

Jun 21, 2021 - 06:02
Oct 1, 2021 - 10:17
 0

SahabatGuru Susah sinyal. Sepertijudul film yang pernah hits, Susah Sinyal (2017),demikian kenyataan yangterjadi saat SahabatGurumenghubungi Budi Prihatini, guru Sekolah Dasar Negeri(SD N) 4 Bucu, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Maklum, sekolah tempat Budimengajar itu berada di lereng Gunung Muria, sekitar 30 km ke arah utara daripusat kota Jepara.

Menuju Desa Bucu, kita harus menempuh ruas jalan sempit berliku serta menanjak selama lebih dari satu jam. Memang tak terlalu merepotkan. Tapi bila ada dua mobil berpapasan, salah satu kendaraan harus menepi ke sisi ruang milik jalan yang agak lebar untuk memberi kesempatan pengendara dari arah berlawanan berlalu lebih dulu.

Namun, siapa sangka bahwa di sekolah ‘pedalaman’ tersebut tersimpan cerita yang cukup mengesankan? Sekolah dengan fasilitas, sarana dan pasarana pendidikan serba terbatas telah ‘memaksa’ Budi Prihatini melahirkan kreasi dan inovasi yang tak hanya bermanfaat bagi puluhan anak didiknya, namun juga mengharumkan nama sekolah—bahkan Kabupaten Jepara.

Inovasi yang dimaksud adalah metode pembelajaran bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Pendidikan Bahasa (IPS PB). Setelah dipraktikkan bertahun-tahun, inovasi itu diikutkan dalam ajang kompetisi Inovas Pembelajaran (Inobel) 2017 yang diselenggarakan Kesejahteraan, Penghargaan dan Perlindungan Guru Pendidikan Dasar (Kesharlindung Dikdas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia. Hasilnya, ia meraih nomor bergengsi dalam kategori Inovasi Pembelajaran (Inobel) bidang IPS PB 2017 tingkat nasional.

            Selarik cerita di atas mewakili warna kegiatan sehari-hari Budi Prihatinidi SD N 4 Bucu selama bertahun-tahun. Inilah kisah tentang kinerja seorang pendidik yang bersahaja namun mampu memajukan gairah mencari ilmu kepada peserta didik.

Sehelai kertas yang inspiratif

            Inovasi yang digagas ibu Budi tak terlepas dari keprihatinannya pada anak didik yang mengalami hambatan pendidikan literasi. Ini disebabkan ketiadaan perpustakaan di sekolah. Padahal minat membaca anak didiknya sangat tinggi. Ini menjadi kenyataan yang menghambat pendidikan literasi serta proses pengayaan pengetahuan terhadap mata pelajaran yang diberikan sekolah. Alih-alih menciptakan tradisi literasi, anak-anak di sekolah ini susah memperoleh pengetahuan tambahan melalui buku-buku.

Menghadapi kenyataan serba terbatas dalam sehari-hari ini menuntut para pendidik untuk dapat mengerahkan daya kreasi melahirkan kegiatan pengajaran pengganti yang setara. Dalam kerangka semangat itulah Guru Budi mencoba beberapa pendekatan atau metodologi pembelajaran.

Salah satu temuannya adalah membuat gambar bercerita atau komik dengan bahan kertas HVS. Gagasannya sederhana, tapi cukup efektif serta sangat bermanfaat bagi anak didiknya. Sang guru pun menyebut alat peraga pendidikan ini sebagai komik digital (kodi) dalam lembaran.

Budi membuat gambar yang kemudian dilengkapi dengan sedikit penjelasan (deskripsi gambar dan adegan). Selanjutnya, kertas itu dilipat dan dirangkai. Jadi, siswa tinggal membuka lipatan saat membaca ‘buku’ tersebut. Karena pada umumnya anak-anak memang tertarik kepada gambar-gambar, mereka kemudian ‘dihipnotis’ membaca penjelasan-penjelasan di halaman berikutnya.

            “Bahannya sederhana. Hanya kertas HVS. Mengapa bukan yang lebih kuat? Ya, karena materi yang ada kertas jenis itu. Sedangkan materi pelajaran lewat gambar bercerita itu beragam. Ada pelajaran Bahasa Indonesia dengan membuat percakapan sederhana. Ada juga pelajaran IPS seperti kisah pewayangan dengan tokoh-tokohnya,” jelasnya.

            Kreasi dari ibu guru ini setidaknya telah menjadi inspirasi bagi anak-anak didiknya untuk menumbuhkan minat belajar. Mereka juga lebih mudah menerima pelajaran. Budi juga kerap memberi tugas para muridnya dengan membuat gambar cerita itu.

“Saat membuat percakapan, mereka bisa lebih mengerti saat diberitahu kalau tanda bacanya ada yang salah. Saat membuat wayang, mereka bisa tahu siapa itu Yudistira, Arjuna dan tokoh lainnya. Karya mereka tergantung daya imajinasi dan kreativitas anak,” kata Budi.

            Nah, ketika digelar kompetisi Inovasi Pembelajaran (Inobel) pada 2017, Budi mendaftarkan karya yang telah ia buktikan di sekolahnya itu. Karya tersebut masuk kategori Inovasi Pembelajaran bidang IPS PB. Tak sia-sia, Budi pun dapat membawa pulang trofi paling bergengsi untuk kategori Inovasi Pembelajaran (Inobel) bidang IPS PB.

            Semangat berkreasi dan berinovasi memang telah masuk ke dalam mindset Budi Prihatini. Keikutsertaannya dalam ajang kompetisi inovasi pembelajaran tadi adalah kali kedua. Pada tahun sebelumnya, dia pun ikut menjadi salah satu peserta, namun gugur di tahap ketiga.

“Saat itu, saya mengajukan karya untuk IPA, yaitu materi penguraian cahaya dengan media gasing. Oleh panitia, karya tersebut bukan sebuah inovasi karena sudah pernah ada meski medianya berbeda,” tutur Budi.

            Sebaliknya, karya gambar bercerita ini dinilai inovatif sehingga terpilih sebagai yang terbaik. “Bukan penghargaan ini yang membuat saya bangga. Tapi kreasi ini membuat anak lebih gemar membaca, menambah pengetahuan dan literasi. Bahkan saat jam istirahat, mereka memilih membuka-buka karya temannya untuk dibaca,” kata Budi yang menyukai dunia sastra itu.

Citra Diri Pendidik

            Mengajar di SD terpencil dengan fasilitas terbatas memang acap membuat ciut nyali banyak orang. Hanya guru yang benar-benar bermental pendidik sejati yang dapat mengatasi kenyataan kurang nyaman tersebut. Bahkan, lebih dari itu, guru yang mampu menyulap keterbatasan menjadi potensi, dan selanjutnya berkerasi dan berinovasi .

            Budi Prihatin memulai pengabdiannya di SDN 3 Cepogo, Jepara, pada 2004. Tak lama setelah ia lulus dari program Diploma Dua Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Negeri Semarang. Seperti jejak rekan-rekan seprofesinya, Budi menempuh jalan mendaftarkan diri sebagai guru tidak tetap.

            Ketika pertama bertugas, Budi mendapat jasa alias honor sebesar Rp50 ribu. “Honor memang mengalami kenaikan, tapi tidak seberapa. Tapi saya mendapat tambahan saat bertugas sebagai tenaga administrasi di sekolah,” kata ibu tiga anak yang meraih gelar sarjana PSGD di Universitas Terbuka (UT) ini mengenang.

            Ia sadar betul bahwa perjalanan karirnya tentu bukan tentang honor kecil, atau kondisi dan letak desa Bucu yang jauh dari keramaian kota sehingga beratribut ‘susah sinyal’ tadi. Problem di depan mata, yakni keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan telah menguras perhatian Budi. 

            Hasratnya untuk memajukan sekolah tempat ia mengajar serta membimbing anak-anak didiknya untuk berpikir maju dengan berbagai keterbatasan sarana dan prasarana terus tumbuh. Apalagi, ketika itu, Budi adalah guru fresh graduate.

            Menghadapi berbagai keterbatasan fasilitas pendidikan di sekolahnya, Budi Prihatini berupaya keras untuk tidak mengeluh. Ia hanya berpikir agar anak-anak didiknya tidak tertinggal dalam mengikuti pelajaran, lebih khusus lagi tradisi membaca. Jangan sampai mereka melewati masa-masa emas belajar tanpa pernah memiliki tradisi literasi.

            Namun, ia pun realistis. Idealisme, apa pun itu, harus mampu berkompromi dengan kenyataan. Ia tak pernah hendak membandingkan situasi dan perkembangan anak-anak SD N 4 Bucu dengan sekolah di kota yang siswanya sudah terbiasa dengan komputer maupun gawai.

“Bahkan mereka di sini tidak berani menyentuh laptop. Dengan lugunya mereka mengatakan takut merusakkan laptop ibu guru,” ujar Budi.

            Demkian pula terhadap kenyataan bahwa SD N 4 Bucu hanya memiliki puluhan murid. Bahkan, ada beberapa kelas terdiri dari 10 siswa. “Berapa pun jumlah siswanya, saya tetap harus mengajar dan mendidik mereka. Itu adalah tugas saya, tak peduli di mana saya ditempatkan,” tutur Budi yang mengajar di SD tersebut mulai 2014 atau di saat dirinya menerima SK pengangkatan sebagai PNS.

            Budi mengakui, di antara ‘daya picu’ mengapa  ‘inovasi dari selembar HVS’ di atas dapat terlahir adalah tradisi kepenulisan yang telah ia geluti sejak SMA. Namun, ketika itu, ia hanya mencatat karya-karyanya di buku harian atau majalah dinding sekolah.

Belakangan, karya sastranya berupa antologi puisi dan cerita pendek sudah diterbitkan. “Saya sudah menulis puisi dan cerpen sejak SMA. Tapi saya menulisnya di buku harian atau paling di majalah dinding sekolah. Mengapa tidak mengirim ke media massa? Saya kurang percaya diri,” kata Budi tertawa.

            Bersama guru-guru dari berbagai daerah, Budi menerbitkan kumpulan puisi dalam sebuah antologi. Pada 2017, Budi dan rekan memunculkan Aku dan Muridku, sebuah antologi puisi. Pada antologi puisi Ibu, dia menyumbang lima karyanya.

“Dorongan dari teman-teman guru yang membuat saya memberanikan diri menampilkan karya puisi dan cerpen. Apakah itu dinilai bagus atau tidak itu adalah penilaian orang. Yang penting, saya harus memberanikan diri berkarya,” kata Budi.

Data Diri

Nama: Budi Prihatini, S.Pd

Tempat, Tanggal Lahir: Kudus, 28 Februari 1983

Suami: Ismanto

Anak: 1.Fakhrul Hidayat

            2. Ivana Nisa Arini

            3. Naila Husna

Karya Sastra

Aku dan Muridku, Antologi Puisi 2017

Ibu, Antologi Puisi 2017

Jejak Sang Jawara, Antologi Cerita Pendek 2017

Prestasi

Juara Inovasi Pembelajaran (Inobel) bidang IPS PB 2017

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

Sahabat Guru Inspirasi Indonesia Maju